Berjuta Rasanya
-WC Keramat-
Oleh: Enya Dibna
Tahukah kau
tentang WC Keramat? Akan kuceritakan padamu. Namun ini rahasia, karena jika
kisah ini tersebar luas, maka penyebarnya akan meraih malapetaka yang
kengeriannya takkan terbayangkan. Asal mula sebutan WC Keramat berawal dari
sebuah kisah nyata yang terjadi di tengah sibuknya rutinitas perkuliahan. Saat
dimana kesibukan akan obrolan pribadi mendominasi isi perkuliahan dan hanya
beberapa pasang mata yang masih fokus pada diskusi kelas yang terdengar cukup
membosankan....
“Demikian presentasi hari ini, akhir
kata Wassalamualaikum wr. Wb.”,
sebuah kalimat penutup diskusi kelas, mata kuliah Sastra hari ini telah
berakhir. Gumpalan nafas lega keluar dari puluhan mulut mahasiswa seisi kelas.
Mata kuliah selanjutnya akan dimulai 5 menit lagi, aku memutuskan untuk pergi
ke wc sekedar untuk mencari oksigen segar dan mencuci tangan.
“Aku ikutt~”, teriak Tika, salah seorang
sahabatku. Buru-buru ia melepaskan diri dari jeratan kursi-kursi sempit kelas
kami. Kami pun berangkat menuju toilet putri bersama. Toilet tusuk sate berukuran
4x3 meter yang pintu luarnya menghadap utara itu terbagi menjadi dua ruangan,
ruang utara(depan) dan selatan(belakang), ruangan utara yang berpotongan
langsung dengan pintu masuk berisi satu set wastafel dan sebuah tong sampah
dari plastic, dan ruangan dibelakangnya adalah sebuah kamar mandi dengan
seperangkat kakus dan bak penampungan air lengkap dengan keran air beserta
selang panjangnya, pintunya juga menghadap utara.
“Nyobain kamera handphone baruku yuk”,
ajak Tika padaku, dan akupun mengiyakan karena tertarik dengan kamera hape baru
si Tika yang katanya masih belum pernah dicoba.
Beberapa kali memotret dan kamipun
tertawa melihat hasil potret wajah kami berdua, hingga akhirnya aku ingat bahwa
ini sudah lebih 2 menit dari senggang waktu antar mata kuliah. Namun karena Tika
masih asik dengan kamera hape barunya, aku mencoba menggodanya dengan cara
meneriakkan kepadanya bahwa Pak Tris, --dosen matakuliah Statistik yang
terkenal sangar dan keji dalam mencoret nilai siswanya yang terlambat dan durhaka-- sudah ada di ambang pintu
kelas.
“Whooo, ada Pak Tris! Ada Pak Tris!”,
teriakku sambil pura-pura menengok ke pintu kelas kami.
Belum lama aku teriak, mendadak dari
pintu kamar mandi keluar Pak Tris dengan pandangan santainya, ia tetap
mengerikan di mata kami. Terlukis sedikit senyum di wajahnya yang hitam legam,
hasil dari penggolongan pigmennya yang memang mudah memperbanyak diri.
“Eh, ada Pak Tris. Hehehe”, kataku lirih
sambil menoleh ke arah Pak Tris yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi wanita.
Malu sekali rasanya. Aku tidak menyangka beliau bisa ada di toilet wanita.
“Loh Pak kok Bpk ada di WC Perempuan?
Itu kan logonya perempuan, Pak”, aku ngeles
sembari menunjuk logo manusia mengenakan rok (logo perempuan) yang tertempel di
pintu toilet.
“Loh, iya ta? Lalu toilet putranya di
sebelah mana?”, jawabnya sambil balik bertanya. Kayaknya ni dosen juga ikutan ngeles
sama pertanyaanku tadi. Akupun menunjukkan letak toilet putra padanya, tapi
tidak beliau datangi karena sepertinya urusannya sudah ditunaikan di toilet
putri. Kemudian beliau berlalu.
Aku dan Tika mengikutinya dari belakang,
menuju ruang kuliah kami untuk mata kuliah Statistik. Aku dan Tika sama-sama
memasang wajah aneh, kami masih terheran-heran dengan kejadian tadi.
“Mati aku. Mau tak taroh mana mukaku
ini”, kataku lirih pada Tika.
“Loh jadi tadi kamu beneran bo’ong kalo Pak
Tris uda masuk kelas?”, sahutnya tak kalah lirih.
“Iya, Cuma nakut-nakutin kamu doing, Tik”,
jawabku.
“Haha. Kualat tuh namanya. Kamu sih..”
sindirnya.
“Huft. Tapi hal ini ga bakal bikin aku
kapok ngerjain kamu”, balasku.
Kami pun tiba di ruang kuliah dengan
selamat dan Pak tris memulai pelajaran hari ini dengan khidmat, seolah tak
terjadi apa-apa.
Belum sempat kami duduk di
deretan bangku terbelakang tempat tas kami singgah, Pak Tris menunjuk kami
dengan suaranya yang membuat bulu roma berdiri, “Hey, Saudari yang berbaju
kotak-kotak merah dan yang berbaju kuning, sebutkan nama dan nomor presensi
kalian.”
“Nike, nomer presensi 13, Pak”, jawabku grogi.
“Tika, presensi 6, Pak”, jawab
Tika tak kalah grogi.
“Okey, saya catat. Kalian
terlambat 4 menit 50 detik, skor kalian saya kurangi 20% untuk nilai presentasi
dan 10% untuk nilai UAS”, serunya dengan nada bangga.
“Iya, Pak”, jawabku dan Tika bebarengan.
Sial, ternyata dosen ini masih peritungan
dengan waktu keterlambatan kami sedangkan kami sudah mengantongi aib buruknya tentang
kejadian beberapa menit yang lalu. Sejak saat itu, aku dan Tika tak pernah
meninggalkan kelas saat pergantian jam kuliah menjelang pelajaran Pak Tris, dan
wc putri yang tadi digunakan Pak Tris kami anggap
sebagai wc keramat sepanjang masa.
12 April 2013
Revisi: 19 April 2013
No comments:
Post a Comment