Friday, April 19, 2013

WC Keramat



Berjuta Rasanya
-WC Keramat-
Oleh: Enya Dibna 

Tahukah kau tentang WC Keramat? Akan kuceritakan padamu. Namun ini rahasia, karena jika kisah ini tersebar luas, maka penyebarnya akan meraih malapetaka yang kengeriannya takkan terbayangkan. Asal mula sebutan WC Keramat berawal dari sebuah kisah nyata yang terjadi di tengah sibuknya rutinitas perkuliahan. Saat dimana kesibukan akan obrolan pribadi mendominasi isi perkuliahan dan hanya beberapa pasang mata yang masih fokus pada diskusi kelas yang terdengar cukup membosankan....


“Demikian presentasi hari ini, akhir kata Wassalamualaikum wr. Wb.”, sebuah kalimat penutup diskusi kelas, mata kuliah Sastra hari ini telah berakhir. Gumpalan nafas lega keluar dari puluhan mulut mahasiswa seisi kelas. Mata kuliah selanjutnya akan dimulai 5 menit lagi, aku memutuskan untuk pergi ke wc sekedar untuk mencari oksigen segar dan mencuci tangan.

“Aku ikutt~”, teriak Tika, salah seorang sahabatku. Buru-buru ia melepaskan diri dari jeratan kursi-kursi sempit kelas kami. Kami pun berangkat menuju toilet putri bersama. Toilet tusuk sate berukuran 4x3 meter yang pintu luarnya menghadap utara itu terbagi menjadi dua ruangan, ruang utara(depan) dan selatan(belakang), ruangan utara yang berpotongan langsung dengan pintu masuk berisi satu set wastafel dan sebuah tong sampah dari plastic, dan ruangan dibelakangnya adalah sebuah kamar mandi dengan seperangkat kakus dan bak penampungan air lengkap dengan keran air beserta selang panjangnya, pintunya juga menghadap utara.
“Nyobain kamera handphone baruku yuk”, ajak Tika padaku, dan akupun mengiyakan karena tertarik dengan kamera hape baru si Tika yang katanya masih belum pernah dicoba.
Beberapa kali memotret dan kamipun tertawa melihat hasil potret wajah kami berdua, hingga akhirnya aku ingat bahwa ini sudah lebih 2 menit dari senggang waktu antar mata kuliah. Namun karena Tika masih asik dengan kamera hape barunya, aku mencoba menggodanya dengan cara meneriakkan kepadanya bahwa Pak Tris, --dosen matakuliah Statistik yang terkenal sangar dan keji dalam mencoret nilai siswanya  yang terlambat dan durhaka-- sudah ada di ambang pintu kelas.
“Whooo, ada Pak Tris! Ada Pak Tris!”, teriakku sambil pura-pura menengok ke pintu kelas kami.
Belum lama aku teriak, mendadak dari pintu kamar mandi keluar Pak Tris dengan pandangan santainya, ia tetap mengerikan di mata kami. Terlukis sedikit senyum di wajahnya yang hitam legam, hasil dari penggolongan pigmennya yang memang mudah memperbanyak diri.
“Eh, ada Pak Tris. Hehehe”, kataku lirih sambil menoleh ke arah Pak Tris yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi wanita. Malu sekali rasanya. Aku tidak menyangka beliau bisa ada di toilet wanita.
“Loh Pak kok Bpk ada di WC Perempuan? Itu kan logonya perempuan, Pak”, aku ngeles sembari menunjuk logo manusia mengenakan rok (logo perempuan) yang tertempel di pintu toilet.
“Loh, iya ta? Lalu toilet putranya di sebelah mana?”, jawabnya sambil balik bertanya. Kayaknya ni dosen juga ikutan ngeles sama pertanyaanku tadi. Akupun menunjukkan letak toilet putra padanya, tapi tidak beliau datangi karena sepertinya urusannya sudah ditunaikan di toilet putri. Kemudian beliau berlalu.
Aku dan Tika mengikutinya dari belakang, menuju ruang kuliah kami untuk mata kuliah Statistik. Aku dan Tika sama-sama memasang wajah aneh, kami masih terheran-heran dengan kejadian tadi.
“Mati aku. Mau tak taroh mana mukaku ini”, kataku lirih pada Tika.
“Loh jadi tadi kamu beneran bo’ong kalo Pak Tris uda masuk kelas?”, sahutnya tak kalah lirih.
“Iya, Cuma nakut-nakutin kamu doing, Tik”, jawabku.
“Haha. Kualat tuh namanya. Kamu sih..” sindirnya.
“Huft. Tapi hal ini ga bakal bikin aku kapok ngerjain kamu”, balasku.
Kami pun tiba di ruang kuliah dengan selamat dan Pak tris memulai pelajaran hari ini dengan khidmat, seolah tak terjadi apa-apa.
Belum sempat kami duduk di deretan bangku terbelakang tempat tas kami singgah, Pak Tris menunjuk kami dengan suaranya yang membuat bulu roma berdiri, “Hey, Saudari yang berbaju kotak-kotak merah dan yang berbaju kuning, sebutkan nama dan nomor presensi kalian.”
Nike, nomer presensi 13, Pak”, jawabku grogi.
“Tika, presensi 6, Pak”, jawab Tika tak kalah grogi.
“Okey, saya catat. Kalian terlambat 4 menit 50 detik, skor kalian saya kurangi 20% untuk nilai presentasi dan 10% untuk nilai UAS”, serunya dengan nada bangga.
Iya, Pak”, jawabku dan Tika bebarengan.
Sial, ternyata dosen ini masih peritungan dengan waktu keterlambatan kami sedangkan kami sudah mengantongi aib buruknya tentang kejadian beberapa menit yang lalu. Sejak saat itu, aku dan Tika tak pernah meninggalkan kelas saat pergantian jam kuliah menjelang pelajaran Pak Tris, dan wc putri yang tadi digunakan Pak Tris kami anggap sebagai wc keramat sepanjang masa.
12 April 2013
Revisi: 19 April 2013

No comments:

Post a Comment