Friday, April 19, 2013

Keabadian untuk Miko



Keabadian untuk Miko
Oleh: Enya Dibna 
Senja yang rutin melukiskan tinta merah pada langit indahnya kini enggan menampakkan wajahnya. Sulaman kapas abu-abu kehitaman menutupi auranya yang indah. Perlahan tapi pasti, tetesan air langit jatuh berguguran. Membasahi bumiku yang telah lama kering.
Seorang gadis berjalan dengan ragu. Matanya menuntun kepalanya berputar 900 ke kanan dan ke kiri. Sesekali ditatapnya dengan teliti sebuah ponsel yang tergenggam erat di tangannya. Beberapa saat kemudian terlukis senyum kecil di bibirnya yang mungil, kemudian ia berlari-lari kecil menyusuri jalan setapak yang menuntunnya pada sebuah rumah bertingkat dua dengan hiasan rumput menjalar yang menyelimuti hampir seluruh dinding luarnya.

“Mira?”
“Halo, Tante. Apa kabar? Miko ada?”
“Baik, sudah lama kamu tak berkunjung. Ada, ayo masuk”
“Makasih tante”
Wanita setengah baya itu menuntunnya masuk. Mereka tampak sangat bersahabat. Dibawanya Mira menuju lantai 2, tepat di ruang tengah, dimana ada seorang lelaki bertubuh jenjang sedang terduduk di sebuah kursi yang menghadap televisi mati. Lelaki itu menoleh dan melemparkan senyuman hangatnya. Mira tersenyum dan langsung menghampirinya. Sesaat setelah ibu Miko berlalu, Mira langsung memeluk kekasihnya dengan erat.
“Aku kangen berat, Ko”
“Sama, Mira sayang. Maaf aku nggak bisa telpon kamu seminggu ini”
“Nggak papa, kamu bisa bales smsku aja aku udah seneng banget”
Perbincangan terus mengalir, diiringi rintik hujan yang kian menghujam genting-genting perkampungan. Dan kini langit pun terdengar bersendawa.
            “Mira, bermalam di sini aja ya? Kamu bisa pakai kamar Miko, biar Miko tidur di sofa”
            “Nggak papa te, saya pulang aja. Ada payung kok”
            “Gausah, Mir. Nanti kamu sakit. nggak papa aku tidur di sofa, udah biasa”
            “Maaf ya, Te. Mira jadi ngerepotin”
***
Awan mendung berlalu. Kini mentari dengan bangganya memancarkan cahaya hangatnya ke seluruh penjuru negeri. Kicau burung dan kokokan ayam menyambutnya dengan riang. Juga pepohonan yang bergoyang tertiup angin, berusaha mengeringkan daun-daunnya yang basah.
Mira terbangunkan oleh kokokan ayam di fajar tadi. Baru kali ini ia masuk kamar Miko, dan tidur di dalamnya. Kamar Miko bersih, seperti kamar perempuan. Dindingnya hampir penuh dengan poster-poster sepak bola beserta potret dirinya bersama orang-orang terdekatnya, termasuk Mira. Setelah membuka jendela kamar dan sedikit merenggangkan badan, Mira keluar kamar. Berjalan menuruni anak tangga yang sedikit berkelok. Dijumpainya Ibu Miko sendiri di dapur. Ia mengaduk-aduk panci sup dengan pandangan sayu. Mira menghampirinya.
“Pagi, Te. Kok rumahnya sepi sih. Miko mana?”
“Miko uda pergi, Mir. Tadi dia buru-buru jadi ga sempet pamit ke kamu.”
“Oh, gitu. Mari saya bantu, te”
“Makasih, Mir. Tapi ini sudah selesai kok. Ayo sarapan sama-sama”
“Wah, Mira jadi ngerepotin lagi”
“Kamu uda Tante anggep anak sendiri kok, Mir. Sama sekali nggak ngerepotin”
Sarapan berlangsung sunyi. Ibu Miko tak banyak bicara saat makan. Hanya terdengar denting sendok yang menggores piring kaca sepanjang sarapan. Mira jadi ragu untuk memulai perbincangan. Agaknya si Tante sedang malas berbicara. Namun ia tetap tersenyum saat Mira menatap wajahnya.
Seusai sarapan, Mira pamit pulang karena masih ada urusan dengan dosen pembimbing skripsinya. Sebelum ia keluar sempat membuka pintu, ibu Miko menarik lengannya, kemudian memeluknya. Badannya gemetar dan tampaknya matanya mulai berkaca-kaca.
“Jumat depan kesini lagi ya, Mir. Miko balik lagi hari Jumat sore”, pesannya sambil melepaskan rangkulannya di badan Mira. Ketika pelukan itu terlepas, tak ada lagi raut wajah dengan mata berkaca-kaca yang tampak dari wajah Ibu Miko yang ayu. Kemudian Mira pergi meninggalkannya.
Belum lama Mira pergi, Ibu Miko kembali ke dapurnya. Matanya kembali berkaca-kaca dan kini bulir-bulir air mulai bermunculan dan jatuh mengukir pola di pipinya yang mulai berkeriput. Kedua tanggannya mengusap-usap lemari es besar dengan lembut, mungkin orang awam biasa menyimpan ikan-ikan laut atau daging sapi segar ke dalamnya, namun tidak bagi ibu Miko, tidak untuk saat ini. Lemari es besar itu kini telah beralih fungsi, tepatnya sejak 2 minggu yang lalu. Saat dimana anak semata wayangnya mati ditikam oleh kekasihnya sendiri.
Sambil menelus punggung lemari es yang dingin, ia mengenang bagaimana darah segar menyelimuti kedua tangannya, mengubah warna pakaiannya dari kuning telur menjadi merah penuh dendam.
***
Miko letih. Ia tidak menyangka, tanggal merah yang membuatnya libur kuliah selama 3 hari itu membuat dirinya beserta teman sekelasnya harus mengganti jam kuliah di hari lain. Dan yang membuatnya menggerutu, hampir semua dosen meminta mengganti di hari yang sama. Alhasil, Miko harus kuliah dari jam 7 pagi hingga 8 malam selama 4 hari berturut-turut.
Langit sudah menghitam dan ratusan tetes air mulai membasahi tubuh Miko yang sedang terkantuk-kantuk menyusuri jalan setapak menuju pintu rumahnya. Tampak sebuah sedan putih terparkir melintang di depan teras rumahnya. Mobil berpelat W itu sudah beberapa hari sering bertengger di terasnya di setiap malam. Tak perlu bertanya-tanya siapa pemiliknya, sudah pasti itu milik pria yang baru dikencani ibunya selama seminggu ini.
Baru saja Miko menyentuh gagang pintu, sudah terdengar bentakan seorang pria dari dalam rumah, diiringi suara keramik yang terdengar menjerit karena tak terima dirinya dibanting ke lantai dan membuatnya pecah berkeping-keping. Buru-buru Miko masuk dan mencari asal suara tersebut, tak lama, ia menemukan ibunya dan Pak Tora –kekasih ibunya—sedang bertengkar hebat di dapur. Sepertinya mereka mengungkit masalah pernikahan. Orang tuanya memang sudah lama bercerai, tapi itu bukan alasan yang mengharuskan Miko untuk mempunyai ayah baru.
Sang ibu tampak marah dan memaki pria tinggi besar di hadapannya, tentu saja raut wajah si pria tak beda jauh dengan ibunya. Sama-sama sedang murka. Tora mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi seolah akan menampar wanita yang sedang mengomel di depannya.
“Ayo, tampar kalau berani! Dasar pria tempramental! Kau kira aku sudi menikah denganmu? Jangan harap!”
Ternyata perkataan ibunya barusan membuat Tora makin naik darah. Dan sebuah tinju mendarat tepat di pipinya. Membuat ibu Miko tersungkur hingga darah segar keluar dari pinggiran pipi kirinya. Miko tak terima. Ia berlari dan langsung melayangkan tinju dan sebelumnya sudah ia ludahi ke arah wajah Tora. Tepat sasaran. Namun Tora tak jatuh, ia balik membalas Miko. Dan mereka saling baku hantam hingga akhirnya Miko jatuh tersungkur di samping ibunya yang masih terduduk di lantai. Tora melempar pandangan ke seluruh sudut, dijumpainya sebilah pisau dapur tergeletak di atas meja tak jauh dari tempatnya berdiri. Secepat kilat, ia sabet pisau itu dan ia tancapkan di punggung kiri Miko. Ia sukses membuat Miko kebocoran jantung hingga mati. Ibu Miko menjerit histeris. Tora mulai panik dan bermaksud menabut pisau itu untuk mengeksekusi wanita yang sedang jongkok di depan kakinya. Sontak ibu Miko menendang selangkangannya dengan sandal kayunya hingga jatuh tersungkur, lalu buru-buru berdiri dan meraih sebotol kecap di atas meja dan dengan sekuat tenaga ia hantamkan ke ubun-ubun kekasihnya hingga pecah. Tora pingsan dengan darah yang terus mengucur dari ubun-ubunnya. Sebelum kembali sadarkan diri, ibu Miko mengambil satu pecahan kaca botol kecap tadi dan menyayatkannya ke leher dan pergelangan tangan Tora. Kini bisa dipastikan, nadi Tora tak lagi berdenyut.
Beberapa jam kemudian, ibu Miko sudah berdiri di teras rumah bersama dengan jasad pria tinggi besar dan sebuah sekop. Tubuhnya basah kuyup karena hujan makin deras seiring berjalannya waktu. Dengan hati-hati, ia memindahkan tanaman-tanaman hias kesayangannya dan menggali lubang di bawahnya. 1 jam berlalu, ia sukses menggali tanah sedalam 2 meter sendirian. Kemudian ia tendang jasad pria itu ke dalam lubang dan menutupnya kembali dengan tanah. Tak lupa ia tanam kembali bunga-bunga kesayangannya ke tempat semula.
Tugasnya malam itu belum selesai sampai disitu, ia kembali ke dalam rumah besama dengan sekopnya, mengambil kunci mobil Tora, dan mengendarainya sampai ke tepi jurang. Sebelum mendorongnya jatuh ke jurang tak berujung itu, ia lepas plat nomor polisi yang tertempel di depan dan belakang mobil. Lalu sekuat tenaga ia dorong hingga mobil itu dengan sukses terjun ke jurang, sendiri dalam kegelapan. Berbekal jas hujan berwarna gelap, ia berjalan menyusuri malam yang basah.
Setibanya di rumah, ibu Miko beranjak ke dapur. Menghampiri jasad anaknya yang sudah tak bernyawa. Air matanya tak lagi mengalir. Kemudian ia berjalan menuju kulkas besar, tempat ia biasa menyimpan ikan dan daging. Ia keluarkan seluruh isinya. Mencucinya dengan lap basah hingga benar-benar bersih dan tak berbau amis lagi, kemudian memasukkan jasad Miko kedalamnya. Ia tak menguburkan Miko seperti yang ia lakukan pada Tora. Ia yakin,  jiwa dari jasad yang tak terkubur akan selalu gentayangan di setiap malam hingga jasadnya membusuk dan termakan belatung. Ibu Miko menyimpannya di freezer agar tak membusuk. Dan berharap bisa tetap bertemu dengan anaknya di sepanjang malam dalam sisa-sisa hidupnya.

Malang, 19 April 2013
*Cerpen ini pernah dimuat di majalah Tabir edisi 57. Terbit bulan Juli tahun 2013 

No comments:

Post a Comment