Friday, April 19, 2013

Luka

Luka
Oleh: Enya Dibna Dirigwa

Ikhsan masih merenung menatap langit-langit kamarnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau dapur, pisau yang biasa digunakannya untuk memotong sayur mayur. Matanya menerawang jauh, jauh menembus atap, pandangannya tampak kosong. Pikirannya melayang-layang jauh menembus batas waktu. Kini jiwanya berada di sebuah kamar kecil beralas kayu. Kamar dengan sebuah jendela yang mampu menyuguhkan pemandangan hingga puluhan kilometer jauh kedepan.

Didapatinya dirinya sedang duduk berhadapan dengan seorang gadis kecil. Gadis itu sedang menangis di sudut ruangan. Menutupi wajahnya yang berlumuran air mata dengan kedua telapak tanggannya. Ia gemetar, badannya basah karena keringat terus bercucuran dari pori-pori di sekujur tubuhnya. Ihsan menatapnya penuh kasih. Gadis itu makin makin gemetar namun jerit tangisnya kian mereda. Ihsan mengangkatnya perlahan, menggendongnya. Membawanya keluar, meninggalkan sesosok pria yang tergeletak dengan sayatan-sayatan dangkal di beberapa bagian tubuhnya. Menebarkan bau amis ke seluruh sudut ruangan.
Jiwa Ikhsan kembali menerobos ruang dan waktu. Kini ia kembali pada raga aslinya. Memutar kornea matanya menghadap sebilas pisau di tangan kirinya. Menebak-nebak apa yang akan dilakukannya nanti. Ia masih terdiam. Pandangannya kembali kosong. Sesaat sebelum bangkit dari ranjangnya, ia menyembunyikan benda yang sedari tadi digenggamnya di bawah bantal. Sedikit raut kecemasan terlukis di wajahnya. Sambil mengusap wajahnya yang agak basah, ia tinggalkan kamar tempatnya merebahkan badan.
***
Bruakk!! Bruakk!! Bruakk!!
Gedoran itu seakan membuat selembar kayu tebal penghubung dunia dalam dan luar hampir terlepas dari engsel yang membuatnya tertambat di bingkai pintu. Suaranya begitu keras menghebohkan keheningan pagi yang cukup damai. Kian lama gedoran itu makin keras, dan kini ia berhasil menghancurkan pertahanan lempeng besi yang menyekat kayu agar tidak terbuka. Engsel-engsel yang menambatkannya pada bingkai pintu juga hampir copot karen beberapa paku penyangganya terlepas beberapa.
Seorang gadis belia berlari tergesa-gesa menuju sumber suara. Matanya terbelalak menyaksikan sosok di balik pintu yang terbuka. Sosok yang selalu membuatnya ketakutan selama beberapa tahun ini. Andai ini hanya mimpi, ia berharap bisa segera bangun untuk melupakan semua mimpinya saat itu.
“Biar kutebak, kau kaget melihatku masih hidup? “, seru pria berbadan besar berjubah hitam dengan beberapa codet di wajahnya. Ia lontarkan pertanyaan yang cukup retoris untuk dijawab.
Tanpa sepatah katapun, gadis yang biasa dipanggil Rika itu langsung berbalik arah dan berlari menuju tangga. Ia lari pontang panting menjejaki belasan anak tangga yang menghubungkannya dengan lantai dua. Ia berlari sambil menghadap ke belakang, berharap pria bercodet tadi tak mengejarnya. Caranya berlari membuat tubuhnya menabrak laki-laki didepannya, Ikhsan. Tatapannya yang cemas bercampur takut membuat Ikhsan paham apa yang terjadi tanpa perlu diceritakan. Walau begitu, Rika tetap menyakinkan Ikhsan tentang apa yang baru saja dilihatnya, ia berkata tanpa suara. Hanya gerak bibir yang mewakili gagasannya. Tanggannya menunjuk-nunjuk arah bawah, lantai satu. Sesegera mungkin Ikhsan menariknya masuk kamar, tempatnya berbaring tadi.
Dengan panik dan pikiran terdesak, Ikhsan berpikir, berusaha menemukan tempat sembunyi yang paling aman untuknya dan Rika. Terlintas gagasan untuk bersembunyi di atas langit-langit kamar dan ia komunikasikan gagasan yang baru terlintas tadi pada adiknya, Rika. Dengan cepat mereka membungkus bantal dan guling dengan selimut dan menyembunyikannya di bawah ranjang untuk sekedar kamuflase. Tak lupa Ikhsan mengambil sebilah pisau yang tadi disimpannya di bawah bantal. Kemudian dengan kedua tangannya, Ikhsan mengangkat tubuh adiknya untuk membantunya naik ke atap, dilanjut dengan dirinya sendiri. Belum sempat ia menaikkan badannya sendiri, si pria bercodet sudah mendobrak pintu kamarnya dan kini mereka saling berhadapan. Ditodongkannya pisau dapur itu ke arah wajah lawannya, dan dengan bersamaan si pria bercodet menodongkan pistol ke arahnya. Entah apa yang akan dilakukannya dengan hanya bersenjatakan pisau dapur, yang ada hanya keringat bercucuran yang sedari tadi menghiasi kulit coklatnya.
***
Rika menyandarkan seikat bunga pada sebuah nisan putih. Air matanya perlahan menetes mengaliri pipinya yang putih bersih. Segala mimpi buruk dalam hidupnya sudah berakhir, kini tinggal kepedihan yang ia rasa. Dengan penuh kasih sayang, air mata itu diseka perlahan oleh pria di sampingnya. Kemudian ia memeluknya dan dengan terisak ia berkata, “Kakak, apa dia benar-benar ayah kita?”, dan ia kembali membenamkan wajahnya ke pelukan sang kakak.
Kemudian mereka menangis bersama, diiringi sepoian angin sore yang menerbangkan sejuta harapan. Senja pun kian temaram dan jangkrik-jangkrik rumput pemakaman mulai bernyanyi melantunkan irama syahdu pembawa kesunyian.

No comments:

Post a Comment