Saturday, September 7, 2019

Satu Malam di Wisma Tumapel


Oleh: Enya Dibna
Siapa bilang anak rumahan itu penakut? Siapa bilang anak laki-laki yang takut pacaran itu penakut? Dan siapa bilang anak yang nggak suka nonton film bergenre horor itu penakut?

Oke, sekarang kita bahas satu persatu. Apa itu anak rumahan? Yap, mereka bilang anak rumahan itu anak yang hobi ngehabisin waktunya di dalem rumah, jarang keluar rumah (hangout sama temen-temen) terutama di malam hari, dan hobi nemenin maminya ke pasar (mall masuk dalam kategori ini). Bukan apa-apa sih, aku cuma merasa keluar malam hari untuk sekedar nongkrong dan sebagainya itu buang-buang uang dan waktu. Aku lebih suka ngabisin waktu di rumah buat kumpul bareng keluarga atau sekedar menghabiskan waktu di kamarku dengan fasilitas serba ada, ga buang-buang duit kan? Dan entah mengapa mereka mikirnya aku takut pulang sendirian kalo hangout malem-malem. Mikir apa coba?
Yang ke-dua. Aku nggak mau pacaran bukan karena takut. Takut apa coba? Aku Cuma berargumen kalo cewek itu baik waktu jadi temen dan waktu lagi pedekate, tapi pas uda jadian malah rese’. Bukannya mau PHP atau ngasi harapan palsu, tapi aku emang menghindari hubungan yang bikin mereka rese’ ke aku nantinya.
Yang terakhir, aku nggak suka liat film horor. Kenapa? Ya males aja. Apalagi film horornya Indonesia. Banyak bumbu-bumbu mesumnya. Iyuuuhh.. kebanyakan dan hampir semua film hantu merek Indonesia selalu diselingi kisah mesum dan rata-rata menggunakan tokoh yang pakaiannya kurang sopan, beda kayak film romantis macam Habibie dan Ainun, ya ‘kan? Kalo film hantu luar negeri mah buat apa ditonton, toh hantunya juga ga bakal kita jumpai di tanah air, ga ada manfaatnya. Semisal dracula, zombie, sama hantu perempuan berleher panjang asal Jepang yang namanya susah aku inget. Lagipula, apa mereka bener berwujud kayak gitu kan sutradaranya belum tentu punya pengalaman mistis. Ya nggak?
Okey, sekarang kita mulai ceritanya. Mula-mula perkenalan dulu ya, aku Andi, siswa SMU, atau bisa disebut alumnus karena sekarang lagi nunggu hari-H buat diwisuda secara massal bareng temen-temen se-angkatan yang berhasil lulus UN. Jarak dari kesibukan pra-UN sampai dengan wisuda cukup lama, hampir dua bulan lamanya. Jenuh, sudah pasti. Selepas liburan bareng temen sekelas ke pulau Dewata, kami pun akhirnya menganggur. Dan hal inilah yang bikin Udin, temenku sekelas yang super nyebelin ngajak liburan gelombang dua ke anak-anak sekelas. “Yang nggak ikutan, cemen!”, tulisnya di papan tulis. Alhasil semua pun setuju, padahal tak ikutpun tak masalah. Apasih jeleknya dibilang ‘cemen’ sama si Udin? Sama sekali nggak mempengaruhi harga diri siapapun kan?
“Ndi, pasti ikutan dong?”, tanya Udin dengan wajah sumringah.
“Nggak”, jawabku.
“Cemen loe”, timpalnya.
“Kamu doang kan yang nganggep aku cemen? Nggak masalah.”
“Hey, rek, si Andi ga berani ngikut nih. Cemen kan?”, tiba-tiba Udin yang rese’ ini mencoba mensugesti anak sekelas buat nganggep aku cemen. Sialan. Jujur saja, liburan gelombang dua ini geje karena Udin nggak bilang masalah lokasinya, intinya kita disuruh ngikut aja dan si Udin jadi pemandu acara. Gile.
“Mana mau aku ikutan ke tempat yang nggak kamu sebutin detil lokasinya? Gimana kita mau nyiapin fisik sama mental kalo lokasi tujuan aja nggak tau. Kalo acaranya geje ini ogah aku ikut”, balasku.
“Oke, temen-temen. Berarti kalo aku sebutin lokasinya kalian pada mau ikut semua kan?”, si Udin sumringah lagi setelah lebih dari separoh anggota kelas menganggukkan kepala, “Kita liburan ke Wisma Tumapel!!”
“Hey, itu kan bukan tempat umum yang biasa dipake kemah!”
“Emangnya satpam Tumapel mbahmu apa?!”
“Hiii serem”, satu per satu anggota kelas mulai menyangkal rencana Udin.
“Siapa bilang kita mau kemah? Kita akan jelajah malam di sana. Tim mana yang jelajahnya paling lama bisa menyabet sisa uang kas kelas. Setuju?”, jawab si Udin.
“Setujuuu!!!”. Oh, no. Hanya karena sisa uang kas mereka mau setuju sama rencana aneh si Udin. Karena tidak sampai berhari-hari, alhasil aku setuju-setuju saja.
Acara yang diusung si Udin ternyata bertepatan dengan malam Jumat Kliwon. Ya, Udin memang pintar memilih hari, itupun kalo dia tau hari Kamis yang ia pilih adalah Kamis Pahing.
Setibanya di lokasi, jam menunjukkan pukul sembilan malam, kami pun langsung voting untuk membagi kelompok. Satu kelompok/tim beranggotakan enam anak. Tiga laki-laki, tiga perempuan. Timku masuk urutan ke tiga, jadi aku punya waktu santai dan makan bekal agak lama. Tim pertama sudah berhasil keluar dari pintu keluar dengan total waktu 15 menit. Mereka tampak berkeringat dan pucat pasi. Tanpa pikir panjang tim kedua langsung masuk pintu start sambil berkata, “15 menit? Kami pasti bisa keluar lebih lama dari kalian. Jauh lebih lama”, dengan bangganya.
Sambil menunggu tim kedua keluar, aku dan timku pun ngobrol dengan tim satu. Mereka tampak ketakutan dan saat ditanya tentang pengalaman di dalam sana mereka hanya menjawab, “Besok aja deh kita cerita-ceritanya.” Well, mereka bener-bener bisa bikin tim kami penasaran.
Sudah lewat 30 menit dan tim kedua belum muncul. Udin yang tidak ikut menjelajah karena dia bertugas sebagai juri pun berkata pada kami, terutama tim satu, “Yahh.. bisa dipastikan kalian gagal dapet kembalian uang kas. Hehehe”. Aku rasa dia hanya bermaksud menghibur, bukan menertawakan kekalahan tim satu. Kulihat raut wajah cemas terpancar dari wajah Udin, tapi bukan cemas karena tim dua belum muncul. Entahlah, kali ini aku nggak bisa nebak pikirannya.
“Din, kita mau di sini sampe jam berapa sih? Bisa-bisanya kamu ngajak kita ke sini pas satpamnya lagi cuti”, tanya salah seorang anggota tim empat.
“Kalo ada penjaganya ya kita nggak bisa di sini sampe malem lah. Kecuali kita anak buahnya mister Tukul. Hehehe”, jawab Udin.
“Din, uda hampir sejam nih. Bosen ah nunggu terus!” Rengek Samsul, ketua kelas kami.
“Iya nih, Din. Masih sisa dua tim lagi nih. Nggak ada toilet pula.” Tambah Atmira sambil menekan pangkal pahanya.
“Ada kok, di deket ruang tengah lantai satu, dekat pintu masuk. Yang ke toiletnya rame-rame berarti cemen”, jawab Udin. Bagaimana bisa di saat kayak gini dia malah ngatain cemen ke anak perempuan yang kebelet pipis?
“Ada yang berani antar nggak? Atau antar rame-rame. Kalo kataku sih cemen nggak cemen itu bukan masalah. Tengah malem gini siapa aja juga takut kalo sendirian”, kataku. Semua anak diem aja, terutama karena tim satu gak mau buka mulut soal kondisi di dalem. Akupun nawarin diri karena kasian, kasian kalo sampe Atmira ngompol di sini, nggak lucu kan. Awalnya Mira nolak dan bermaksud nahan kencing sampe pagi, tapi kayaknya dia uda kebelet akut jadi iya-iya aja.
“Kita pulang aja yuk. Kan kita uda jelas-jelas kalah”, kata salah satu anggota tim satu.
“Iya nih. Aku tadi juga lupa kunci pager rumah”, sahut yang lain.
“A-aku juga. Barusan mamaku sms kalo dia lagi ga enak badan”, sahut yang lain  lagi. Dan akhirnya semua anggota tim satu pun pergi. Aku dan Atmira terus melanjutkan perjalanan.
“Ndi, aku takut”, kata Mira dengan nada rendah.
“Nggak pa-pa, Mir. Daripada ngompol di sini kan malu”, hiburku.
“Temenin masuk ke toilet ya, Ndi?”
“Hush, ngawur! Kita kan beda jenis!”
“Tapi sama-sama manusia kan? Aku takut..”
“Gini aja, pintunya nggak usah kamu kunci, biar aku pegang dari luar. Kalo ada apa-apa biar aku gampang nolongnya, oke?”. Mira pun setuju.
Bener aja Atmira takut, kamar mandi itu tanpa lampu. Ada sih, satu, tapi mati. Jadi aku senterin dari luar supaya Mira bisa diterangi cahaya. Tapi belum sempat dia jongkok (kayaknya), dia langsung njerit sekenceng-kencengnya. Pintu utama buat masuk wisma ini pun otomatis tertutup dan ini aneh. Aku yang galau mau liat pintu depan atau lia   t Mira pun akhirnya memilih liat kondisi Mira. Dia menggigil ketakutan sambil menunjuk arah bak penampungan air. Ada Fabio, teman sekelas kami yang tak lain adalah anggota tim dua sedang tergeletak dengan sabetan di bagian perutnya. Aku yang kebetulan bawa hape berisi pulsa pun langsung nelpon kantor polisi dan ambulans.
Pasti ada apa-apa di wisma ini, pikirku. Aku pun menutup mulut Mira dan mematikan senter seraya mengajaknya ke pojok. Saat itu aku berharap pagi segera dateng dan kami bisa pulang dengan selamat. Tak lama setelah aku dan Mira menepi, ada suara langkah kaki yang agak berat. Yang aku bayangin waktu itu adalah seekor Hulk atau Hell Boy atau semacamnya. Ternyata bukan, Hulk itu tokoh superhero dari Amerika, jelas ga bakal muncul di Indonesia, terutama di bangunan tua ini. langkah kaki tadi ternyata milik seorang pria bertubuh tambun, ia tidak gendut atau semacamnya, tapi langkahnya berat karena ia sedang membopong dua tubuh anak seusia kami yang kuyakini adalah anggota tim dua.
Tak lama setelah menimbun tubuh Fabio dengan dua tubuh lain, ada derap langkah kaki lain yang datang. Takut, iya sih. Tapi diem aja nggak cukup, kami harus sembunyi. Tanganku nyoba ngeraba sekitar dan akhirnya bersinggungan sama benda yang bentuknya kayak meja kantoran. Aku ajak Mira sembunyi di baliknya karena menurutku dua orang tadi pasti tau kalo ada anak yang masuk nggak lama setelah pintu depan tertutup.
Aku denger mereka ngobrol bisik-bisik, dari apa yang berhasil kutangkap, kayaknya orang yang baru dateng tadi ngasi info kalo ada anak yang baru masuk ke bangunan ini, dan kesimpulanku adalah mereka ngiranya yang masuk cuma satu bukannya dua. Untung aja kami uda sembunyi di balik meja, karena setelah mereka bisik-bisik orang yang kusangka Hulk tadi mulai menyenteri ruangan buat nemuin kami. Fiyuhhh...
Beruntung mereka pergi setelah gagal nemuin kami di ruangan itu, tapi, aarghhhh... Atmira ngompol di tempat. Kalo mereka balik, mereka pasti bisa nemuin kami karena ngendus bau-bau aneh, bau kencing si Mira. Oh, God...
“Ndi, tolong sms yang lain dong supaya masuk nolongin kita!”, bisik Atmira sambil mencengkeram erat lengan kiriku. Aku baru sadar kalo Atmira itu kan daridulu cemen banget, penakut kelas kakap yang selalu pasang wajah pucat kalo ada yang lagi cerita-cerita berbau horor.
“Nggak bisa, Mir. Brightnesnya hapeku bisa bikin mereka tau lokasi kita”, tolakku. Sebenarnya aku setuju sama ide si Atmira, tapi mau gimana lagi, kalo layar hapeku nyala ntar mereka tau ada kita di balik meja.
“Ndi, please... Mereka kan uda keluar ruangan”, rengeknya.
“Oke, Mir. Aku coba ya”, jawabku. Awalnya aku bermaksud smsin di Udin tapi liat ekspresi terakhirnya tadi aku jadi males, jadi aku smsin temen-temen lain yang semoga saja masih di luar. Tapi belum sempat aku pencet tombol ‘kirim’, ponselku uda bunyi, bodohnya aku belom matiin nada deringnya. Cepat-cepat kuangkat agar aku bisa bilang kalo aku lagi ada masalah di dalem.
“Ndi, Andi? Lama banget sih ke toiletnya? Hayoo ngapain kamu sama Atmira? Heheh”, ada suara Udin dari speaker ponselku. Sialan. Kenapa yang nelpon malah si Udin?
“Cepet ke sini, Din. Kita dalam masalah. Cepetan, bawa yang lain!”, pintaku.
“Apa? Wahh.. yauda kalo gitu nggak aku ganggu deh. Selamat ya bro. Cie..” Astaga. Apa maksudnya si Udin ini? Bisa-bisanya dia ngajak becanda di saat kayak gini. Apalagi temen-temen di luar sana ikut ‘cie-cie’ gara-gara si Udin ngomong kayak gitu. Mikir apa mereka?
Nggak lama setelah itu, dua orang yang nggak tau wajahnya kayak apa tadi balik dan mencari kami. Habislah kami. Mereka cepet banget nemuin kami gara-gara bau ompol si Mira. Mereka menyoroti wajah kami pake senter, lalu kayaknya ada benda tumpul yang mereka hantemin ke kepalaku, sepertinya setelah aku gilirannya si Mira. Tapi aku uda nggak inget apa-apa lagi.
Saat aku bangun setelah kejadian malam itu, aku ada di sebuah ruangan serba putih. Kain putih, selimut putih, dan semuanya putih. Waktu itu aku mikirnya lagi ada di rumah sakit. Sangat berharap lagi ada di rumah sakit. Entah di mana waktu itu. Ada Mira di sampingku. Dia senyum, cantik banget. Aku baru sadar kalo Mira cantik, emang cantik sih, tapi kali ini cantiknya memukau. Hehehe. Dia juga pake baju putih, kayak tirai di sampingku.
“Kamu nggak pa-pa, Mir? Orang yang kemarin gimana?”, tanyaku.
“Nggak pa-pa kok, Ndi. Mereka uda aman”, jawabnya sambil tersenyum.
“Trus, ini dimana?”
“Menurutmu?”
“Rumah sakit?”
“Bisa jadi. Aku boleh minta sesuatu?”
“Apa itu? Selagi aku bisa ya aku kasih.”
“Tolong bilang ke mamaku kalo aku minta maaf, dan bilang kalo aku sayang banget sama mama.”
“Kenapa nggak bilang sendiri, Mir? Mamamu pasti lebih seneng kalo kamu yang bilang.”
“Aku nggak mampu, Ndi. Mama nggak bakal ngerti..”
Atmira nangis. Aku heran kenapa dia nggak ngomong sendiri sama mamanya. Bukannya kita uda selamat? Aku nggak berani tanya lagi. Dan nggak lama kemudian ada seorang suster yang masuk ke ruangan kami. Dia suruh aku buka mata, dan aku melek selebar-lebarnya. Tapi dia tetep suruh aku buka mata, dan aku jawab, “Mbak, ini meleknya uda yang paling gedhe, mata saya emang sipit sejak lahir”, kemudian wajah suster itu berubah jadi wajah mamaku.
Aku tersadar secara nyata di atas ranjang rumah sakit. Ada mama di sampingku. Di samping ranjang seberang ada mama Atmira. Beberapa hari kemudian baru aku tau kalo Udin ternyata sengaja njebak kami sekelas buat masuk wisma itu. Dua orang yang salah satunya kusangka Hulk tadi adalah kakak-kakak si Udin. Mereka punya bisnis perdagangan organ tubuh, dan kabar baiknya mereka bertiga uda ditangkep polisi. Beruntung polisi dateng waktu mereka baru berhasil ngambil satu organku, ginjal. Tapi malang nasib Atmira, karena saat polisi datang ia udah meregang nyawa gara-gara pendarahan di perut. Mereka udah ngambil rahimnya gak lama setelah kedua ginjalnya direnggut.
***TAMAT***

Wisma Tumapel awalnya adalah sebuah hotel yang didirikan oleh Belanda pada masa jajahannya. Kemudian beralih ke tangan Jepang saat jepang menjajah NKRI. Dan kepemilikan terakhirnya saat ini dipegang oleh Universitas Negeri Malang yang setiap harinya dijaga oleh pengawas yang telah dipilih. Wisma ini kini biasa digunakan sebagai lokasi pemotretan karena bentuk bangunannya yang unik.

No comments:

Post a Comment