Oleh: Enya Dibna
Siapa bilang anak rumahan itu penakut? Siapa bilang
anak laki-laki yang takut pacaran itu penakut? Dan siapa bilang anak yang nggak
suka nonton film bergenre horor itu penakut?
Oke, sekarang kita bahas satu persatu. Apa itu anak
rumahan? Yap, mereka bilang anak rumahan itu anak yang hobi ngehabisin waktunya
di dalem rumah, jarang keluar rumah (hangout sama temen-temen) terutama di
malam hari, dan hobi nemenin maminya ke pasar (mall masuk dalam kategori ini).
Bukan apa-apa sih, aku cuma merasa keluar malam hari untuk sekedar nongkrong
dan sebagainya itu buang-buang uang dan waktu. Aku lebih suka ngabisin waktu di
rumah buat kumpul bareng keluarga atau sekedar menghabiskan waktu di kamarku
dengan fasilitas serba ada, ga buang-buang duit kan? Dan entah mengapa mereka
mikirnya aku takut pulang sendirian kalo hangout malem-malem. Mikir apa coba?
Yang ke-dua. Aku nggak mau pacaran bukan karena takut.
Takut apa coba? Aku Cuma berargumen kalo cewek itu baik waktu jadi temen dan
waktu lagi pedekate, tapi pas uda jadian malah rese’. Bukannya mau PHP atau ngasi harapan palsu, tapi aku emang
menghindari hubungan yang bikin mereka rese’
ke aku nantinya.
Yang terakhir, aku nggak suka liat film horor. Kenapa?
Ya males aja. Apalagi film horornya Indonesia. Banyak bumbu-bumbu mesumnya.
Iyuuuhh.. kebanyakan dan hampir semua film hantu merek Indonesia selalu
diselingi kisah mesum dan rata-rata menggunakan tokoh yang pakaiannya kurang
sopan, beda kayak film romantis macam Habibie dan Ainun, ya ‘kan? Kalo film
hantu luar negeri mah buat apa ditonton, toh hantunya juga ga bakal kita jumpai
di tanah air, ga ada manfaatnya. Semisal dracula, zombie, sama hantu perempuan
berleher panjang asal Jepang yang namanya susah aku inget. Lagipula, apa mereka
bener berwujud kayak gitu kan sutradaranya belum tentu punya pengalaman mistis.
Ya nggak?
Okey, sekarang kita mulai ceritanya. Mula-mula
perkenalan dulu ya, aku Andi, siswa SMU, atau bisa disebut alumnus karena
sekarang lagi nunggu hari-H buat diwisuda secara massal bareng temen-temen
se-angkatan yang berhasil lulus UN. Jarak dari kesibukan pra-UN sampai dengan
wisuda cukup lama, hampir dua bulan lamanya. Jenuh, sudah pasti. Selepas
liburan bareng temen sekelas ke pulau Dewata, kami pun akhirnya menganggur. Dan
hal inilah yang bikin Udin, temenku sekelas yang super nyebelin ngajak liburan
gelombang dua ke anak-anak sekelas. “Yang nggak ikutan, cemen!”, tulisnya di
papan tulis. Alhasil semua pun setuju, padahal tak ikutpun tak masalah. Apasih
jeleknya dibilang ‘cemen’ sama si Udin? Sama sekali nggak mempengaruhi harga
diri siapapun kan?
“Ndi, pasti ikutan dong?”, tanya Udin dengan wajah
sumringah.
“Nggak”, jawabku.
“Cemen loe”, timpalnya.
“Kamu doang kan yang nganggep aku cemen? Nggak
masalah.”
“Hey, rek,
si Andi ga berani ngikut nih. Cemen kan?”, tiba-tiba Udin yang rese’ ini
mencoba mensugesti anak sekelas buat nganggep aku cemen. Sialan. Jujur saja,
liburan gelombang dua ini geje karena Udin nggak bilang masalah lokasinya,
intinya kita disuruh ngikut aja dan si Udin jadi pemandu acara. Gile.
“Mana mau aku ikutan ke tempat yang nggak kamu sebutin
detil lokasinya? Gimana kita mau nyiapin fisik sama mental kalo lokasi tujuan
aja nggak tau. Kalo acaranya geje ini ogah aku ikut”, balasku.
“Oke, temen-temen. Berarti kalo aku sebutin lokasinya
kalian pada mau ikut semua kan?”, si Udin sumringah lagi setelah lebih dari
separoh anggota kelas menganggukkan kepala, “Kita liburan ke Wisma Tumapel!!”
“Hey, itu kan bukan tempat umum yang biasa dipake
kemah!”
“Emangnya satpam Tumapel mbahmu apa?!”
“Hiii serem”, satu per satu anggota kelas mulai
menyangkal rencana Udin.
“Siapa bilang kita mau kemah? Kita akan jelajah malam
di sana. Tim mana yang jelajahnya paling lama bisa menyabet sisa uang kas
kelas. Setuju?”, jawab si Udin.
“Setujuuu!!!”. Oh, no. Hanya karena sisa uang kas
mereka mau setuju sama rencana aneh si Udin. Karena tidak sampai berhari-hari,
alhasil aku setuju-setuju saja.
Acara yang diusung si Udin ternyata bertepatan dengan
malam Jumat Kliwon. Ya, Udin memang pintar memilih hari, itupun kalo dia tau
hari Kamis yang ia pilih adalah Kamis Pahing.
Setibanya di lokasi, jam menunjukkan pukul sembilan
malam, kami pun langsung voting untuk membagi kelompok. Satu kelompok/tim
beranggotakan enam anak. Tiga laki-laki, tiga perempuan. Timku masuk urutan ke
tiga, jadi aku punya waktu santai dan makan bekal agak lama. Tim pertama sudah
berhasil keluar dari pintu keluar dengan total waktu 15 menit. Mereka tampak
berkeringat dan pucat pasi. Tanpa pikir panjang tim kedua langsung masuk pintu
start sambil berkata, “15 menit? Kami pasti bisa keluar lebih lama dari kalian.
Jauh lebih lama”, dengan bangganya.
Sambil menunggu tim kedua keluar, aku dan timku pun
ngobrol dengan tim satu. Mereka tampak ketakutan dan saat ditanya tentang
pengalaman di dalam sana mereka hanya menjawab, “Besok aja deh kita
cerita-ceritanya.” Well, mereka bener-bener bisa bikin tim kami penasaran.
Sudah lewat 30 menit dan tim kedua belum muncul. Udin
yang tidak ikut menjelajah karena dia bertugas sebagai juri pun berkata pada
kami, terutama tim satu, “Yahh.. bisa dipastikan kalian gagal dapet kembalian
uang kas. Hehehe”. Aku rasa dia hanya bermaksud menghibur, bukan menertawakan
kekalahan tim satu. Kulihat raut wajah cemas terpancar dari wajah Udin, tapi bukan
cemas karena tim dua belum muncul. Entahlah, kali ini aku nggak bisa nebak
pikirannya.
“Din, kita mau di sini sampe jam berapa sih?
Bisa-bisanya kamu ngajak kita ke sini pas satpamnya lagi cuti”, tanya salah
seorang anggota tim empat.
“Kalo ada penjaganya ya kita nggak bisa di sini sampe
malem lah. Kecuali kita anak buahnya mister Tukul. Hehehe”, jawab Udin.
“Din, uda hampir sejam nih. Bosen ah nunggu terus!”
Rengek Samsul, ketua kelas kami.
“Iya nih, Din. Masih sisa dua tim lagi nih. Nggak ada
toilet pula.” Tambah Atmira sambil menekan pangkal pahanya.
“Ada kok, di deket ruang tengah lantai satu, dekat
pintu masuk. Yang ke toiletnya rame-rame berarti cemen”, jawab Udin. Bagaimana
bisa di saat kayak gini dia malah ngatain cemen ke anak perempuan yang kebelet
pipis?
“Ada yang berani antar nggak? Atau antar rame-rame.
Kalo kataku sih cemen nggak cemen itu bukan masalah. Tengah malem gini siapa
aja juga takut kalo sendirian”, kataku. Semua anak diem aja, terutama karena
tim satu gak mau buka mulut soal kondisi di dalem. Akupun nawarin diri karena
kasian, kasian kalo sampe Atmira ngompol di sini, nggak lucu kan. Awalnya Mira
nolak dan bermaksud nahan kencing sampe pagi, tapi kayaknya dia uda kebelet
akut jadi iya-iya aja.
“Kita pulang aja yuk. Kan kita uda jelas-jelas kalah”,
kata salah satu anggota tim satu.
“Iya nih. Aku tadi juga lupa kunci pager rumah”, sahut
yang lain.
“A-aku juga. Barusan mamaku sms kalo dia lagi ga enak
badan”, sahut yang lain lagi. Dan
akhirnya semua anggota tim satu pun pergi. Aku dan Atmira terus melanjutkan
perjalanan.
“Ndi, aku takut”, kata Mira dengan nada rendah.
“Nggak pa-pa, Mir. Daripada ngompol di sini kan malu”,
hiburku.
“Temenin masuk ke toilet ya, Ndi?”
“Hush, ngawur! Kita kan beda jenis!”
“Tapi sama-sama manusia kan? Aku takut..”
“Gini aja, pintunya nggak usah kamu kunci, biar aku
pegang dari luar. Kalo ada apa-apa biar aku gampang nolongnya, oke?”. Mira pun
setuju.
Bener aja Atmira takut, kamar mandi itu tanpa lampu.
Ada sih, satu, tapi mati. Jadi aku senterin dari luar supaya Mira bisa
diterangi cahaya. Tapi belum sempat dia jongkok (kayaknya), dia langsung njerit
sekenceng-kencengnya. Pintu utama buat masuk wisma ini pun otomatis tertutup
dan ini aneh. Aku yang galau mau liat pintu depan atau lia t Mira pun akhirnya memilih liat kondisi
Mira. Dia menggigil ketakutan sambil menunjuk arah bak penampungan air. Ada
Fabio, teman sekelas kami yang tak lain adalah anggota tim dua sedang
tergeletak dengan sabetan di bagian perutnya. Aku yang kebetulan bawa hape
berisi pulsa pun langsung nelpon kantor polisi dan ambulans.
Pasti ada apa-apa di wisma ini, pikirku. Aku pun
menutup mulut Mira dan mematikan senter seraya mengajaknya ke pojok. Saat itu
aku berharap pagi segera dateng dan kami bisa pulang dengan selamat. Tak lama
setelah aku dan Mira menepi, ada suara langkah kaki yang agak berat. Yang aku
bayangin waktu itu adalah seekor Hulk atau Hell Boy atau semacamnya. Ternyata
bukan, Hulk itu tokoh superhero dari Amerika, jelas ga bakal muncul di
Indonesia, terutama di bangunan tua ini. langkah kaki tadi ternyata milik
seorang pria bertubuh tambun, ia tidak gendut atau semacamnya, tapi langkahnya
berat karena ia sedang membopong dua tubuh anak seusia kami yang kuyakini
adalah anggota tim dua.
Tak lama setelah menimbun tubuh Fabio dengan dua tubuh
lain, ada derap langkah kaki lain yang datang. Takut, iya sih. Tapi diem aja
nggak cukup, kami harus sembunyi. Tanganku nyoba ngeraba sekitar dan akhirnya
bersinggungan sama benda yang bentuknya kayak meja kantoran. Aku ajak Mira
sembunyi di baliknya karena menurutku dua orang tadi pasti tau kalo ada anak
yang masuk nggak lama setelah pintu depan tertutup.
Aku denger mereka ngobrol bisik-bisik, dari apa yang
berhasil kutangkap, kayaknya orang yang baru dateng tadi ngasi info kalo ada
anak yang baru masuk ke bangunan ini, dan kesimpulanku adalah mereka ngiranya
yang masuk cuma satu bukannya dua. Untung aja kami uda sembunyi di balik meja,
karena setelah mereka bisik-bisik orang yang kusangka Hulk tadi mulai
menyenteri ruangan buat nemuin kami. Fiyuhhh...
Beruntung mereka pergi setelah gagal nemuin kami di
ruangan itu, tapi, aarghhhh... Atmira ngompol di tempat. Kalo mereka balik,
mereka pasti bisa nemuin kami karena ngendus bau-bau aneh, bau kencing si Mira.
Oh, God...
“Ndi, tolong sms yang lain dong supaya masuk nolongin
kita!”, bisik Atmira sambil mencengkeram erat lengan kiriku. Aku baru sadar
kalo Atmira itu kan daridulu cemen banget, penakut kelas kakap yang selalu
pasang wajah pucat kalo ada yang lagi cerita-cerita berbau horor.
“Nggak bisa, Mir. Brightnesnya hapeku bisa bikin
mereka tau lokasi kita”, tolakku. Sebenarnya aku setuju sama ide si Atmira,
tapi mau gimana lagi, kalo layar hapeku nyala ntar mereka tau ada kita di balik
meja.
“Ndi, please... Mereka kan uda keluar ruangan”,
rengeknya.
“Oke, Mir. Aku coba ya”, jawabku. Awalnya aku
bermaksud smsin di Udin tapi liat ekspresi terakhirnya tadi aku jadi males,
jadi aku smsin temen-temen lain yang semoga saja masih di luar. Tapi belum
sempat aku pencet tombol ‘kirim’, ponselku uda bunyi, bodohnya aku belom matiin
nada deringnya. Cepat-cepat kuangkat agar aku bisa bilang kalo aku lagi ada
masalah di dalem.
“Ndi, Andi? Lama banget sih ke toiletnya? Hayoo
ngapain kamu sama Atmira? Heheh”, ada suara Udin dari speaker ponselku. Sialan.
Kenapa yang nelpon malah si Udin?
“Cepet ke sini, Din. Kita dalam masalah. Cepetan, bawa
yang lain!”, pintaku.
“Apa? Wahh.. yauda kalo gitu nggak aku ganggu deh.
Selamat ya bro. Cie..” Astaga. Apa maksudnya si Udin ini? Bisa-bisanya dia
ngajak becanda di saat kayak gini. Apalagi temen-temen di luar sana ikut
‘cie-cie’ gara-gara si Udin ngomong kayak gitu. Mikir apa mereka?
Nggak lama setelah itu, dua orang yang nggak tau
wajahnya kayak apa tadi balik dan mencari kami. Habislah kami. Mereka cepet
banget nemuin kami gara-gara bau ompol si Mira. Mereka menyoroti wajah kami
pake senter, lalu kayaknya ada benda tumpul yang mereka hantemin ke kepalaku,
sepertinya setelah aku gilirannya si Mira. Tapi aku uda nggak inget apa-apa
lagi.
Saat aku bangun setelah kejadian malam itu, aku ada di
sebuah ruangan serba putih. Kain putih, selimut putih, dan semuanya putih.
Waktu itu aku mikirnya lagi ada di rumah sakit. Sangat berharap lagi ada di
rumah sakit. Entah di mana waktu itu. Ada Mira di sampingku. Dia senyum, cantik
banget. Aku baru sadar kalo Mira cantik, emang cantik sih, tapi kali ini
cantiknya memukau. Hehehe. Dia juga pake baju putih, kayak tirai di sampingku.
“Kamu nggak pa-pa, Mir? Orang yang kemarin gimana?”,
tanyaku.
“Nggak pa-pa kok, Ndi. Mereka uda aman”, jawabnya
sambil tersenyum.
“Trus, ini dimana?”
“Menurutmu?”
“Rumah sakit?”
“Bisa jadi. Aku boleh minta sesuatu?”
“Apa itu? Selagi aku bisa ya aku kasih.”
“Tolong bilang ke mamaku kalo aku minta maaf, dan
bilang kalo aku sayang banget sama mama.”
“Kenapa nggak bilang sendiri, Mir? Mamamu pasti lebih
seneng kalo kamu yang bilang.”
“Aku nggak mampu, Ndi. Mama nggak bakal ngerti..”
Atmira nangis. Aku heran kenapa dia nggak ngomong
sendiri sama mamanya. Bukannya kita uda selamat? Aku nggak berani tanya lagi.
Dan nggak lama kemudian ada seorang suster yang masuk ke ruangan kami. Dia
suruh aku buka mata, dan aku melek selebar-lebarnya. Tapi dia tetep suruh aku
buka mata, dan aku jawab, “Mbak, ini meleknya uda yang paling gedhe, mata saya
emang sipit sejak lahir”, kemudian wajah suster itu berubah jadi wajah mamaku.
Aku tersadar secara nyata di atas ranjang rumah sakit.
Ada mama di sampingku. Di samping ranjang seberang ada mama Atmira. Beberapa
hari kemudian baru aku tau kalo Udin ternyata sengaja njebak kami sekelas buat
masuk wisma itu. Dua orang yang salah satunya kusangka Hulk tadi adalah
kakak-kakak si Udin. Mereka punya bisnis perdagangan organ tubuh, dan kabar
baiknya mereka bertiga uda ditangkep polisi. Beruntung polisi dateng waktu
mereka baru berhasil ngambil satu organku, ginjal. Tapi malang nasib Atmira,
karena saat polisi datang ia udah meregang nyawa gara-gara pendarahan di perut.
Mereka udah ngambil rahimnya gak lama setelah kedua ginjalnya direnggut.
***TAMAT***
Wisma Tumapel
awalnya adalah sebuah hotel yang didirikan oleh Belanda pada masa jajahannya.
Kemudian beralih ke tangan Jepang saat jepang menjajah NKRI. Dan kepemilikan
terakhirnya saat ini dipegang oleh Universitas Negeri Malang yang setiap
harinya dijaga oleh pengawas yang telah dipilih. Wisma ini kini biasa digunakan
sebagai lokasi pemotretan karena bentuk bangunannya yang unik.
No comments:
Post a Comment