Wednesday, September 11, 2019

Aril


Barangkali jika kuingin menceritakan satu-persatu karakter murid-muridku, maka akan kumulai dari bocah kesayanganku.
Aril.

Aku mengenalnya sejak awal bekerja di instansi ini. Murid pertamaku, di tahun pertama kerjaku. Dan selanjutnya jadi muridku lagi, di tahun ke-tiga. Dia kekanakan, namun cerdas. Nilai-nilainya memang jarang tembus lima besar, namun saat kukondisikan anak-anakku untuk menalar, dia yang paling cekatan. Di antara semua bocah, mungkin dia yang paling dekat denganku. Yang paling sering menghampiriku. Bercerita banyak hal padaku. Dan aku tak pernah bosan.

Dia yang paling melek teknologi di antara teman-temannya. Seorang bocah, yang dulu masih kelas dua SD, sudah terbiasa membeli barang di lazada (walau pakai uang orangtua), yang notabene masih jadi hal asing di kalangan teman-temannya.

Pernah suatu hari aku ingin menjelaskan tentang macam-macam garis, dan kubawakan laser untuk mencontohkan wujud ‘sinar garis’, dan sialnya, batrenya habis. Masih baru, namun karena barang lama mungkin, kupikir rusak. Kumasukkan ke tong sampah kelas, dan ternyata dia pungut untuk dibawa pulang, dicek dan diganti batre baru. Keesokan harinya, dia serahkan kembali padaku. Gemas!

Entahlah, aku benar-benar berharap, jika suatu saat nanti punya anak laki-laki, karakternya akan sama seperti dia. Childish, cerdas, inisiatif, dan menyenangkan. Aku belum pernah menjumpainya marah. Namun saat ngambek, dia teramat lucu. Dengan bibir monyongnya dan nada bicaranya yang agak ngegas. Sungguh aku tak bisa marah padanya.

Barangkali, saat angkatan pertama dari anak-anakku lulus nanti, dia yang pertama kali akan teramat kurindu.

No comments:

Post a Comment