Barangkali jika kuingin menceritakan satu-persatu karakter
murid-muridku, maka akan kumulai dari bocah kesayanganku.
Aril.
Aku mengenalnya sejak awal bekerja di instansi ini. Murid
pertamaku, di tahun pertama kerjaku. Dan selanjutnya jadi muridku lagi, di
tahun ke-tiga. Dia kekanakan, namun cerdas. Nilai-nilainya memang jarang tembus
lima besar, namun saat kukondisikan anak-anakku untuk menalar, dia yang paling
cekatan. Di antara semua bocah, mungkin dia yang paling dekat denganku. Yang paling
sering menghampiriku. Bercerita banyak hal padaku. Dan aku tak pernah bosan.
Dia yang paling melek teknologi di antara teman-temannya. Seorang
bocah, yang dulu masih kelas dua SD, sudah terbiasa membeli barang di lazada
(walau pakai uang orangtua), yang notabene masih jadi hal asing di kalangan
teman-temannya.
Pernah suatu hari aku ingin menjelaskan tentang macam-macam
garis, dan kubawakan laser untuk mencontohkan wujud ‘sinar garis’, dan sialnya,
batrenya habis. Masih baru, namun karena barang lama mungkin, kupikir rusak. Kumasukkan
ke tong sampah kelas, dan ternyata dia pungut untuk dibawa pulang, dicek dan
diganti batre baru. Keesokan harinya, dia serahkan kembali padaku. Gemas!
Entahlah, aku benar-benar berharap, jika suatu saat nanti
punya anak laki-laki, karakternya akan sama seperti dia. Childish, cerdas,
inisiatif, dan menyenangkan. Aku belum pernah menjumpainya marah. Namun saat
ngambek, dia teramat lucu. Dengan bibir monyongnya dan nada bicaranya yang agak
ngegas. Sungguh aku tak bisa marah padanya.
Barangkali, saat angkatan pertama dari anak-anakku lulus
nanti, dia yang pertama kali akan teramat kurindu.
No comments:
Post a Comment