Thursday, April 26, 2018

Bayi Haryati

Cerita ini bermula pada suatu malam yang becek. Malam yang terlampau lama berselimut hujan. Malam yang gemericik. Di mana tak seorangpun rela hengkang dari dalam rumah untuk sekedar memenuhi jadwal ronda. Dan disaat hujan mulai mereda, malam kian berbalut sunyi, dan perlahan desah nyanyian Lingsir Wengi mulai berkumandang ke seluruh penjuru desa. Mengusik kedamaian lewat celah-celah tembok bambu. Memaksa masuk ke gendang-gendang telinga yang tak tersumpal. Seluruh mata terjaga, seluruh jiwa gelisah. Nyanyian itu tak kunjung reda. Semua berharap fajar segera tiba. Agar desahan tersebut secepatnya sirna.
***

Sesosok wanita berpakaian putih bersih sepanjang lekuk tubuhnya nampak bingung mencari sesuatu. Ia berlalu bagai angin. Ke sana. Ke sini. Makadam yang basah oleh guyuran hujan barusan tak ia hiraukan. Tak peduli pakaian long dressnya akan basah, ia tetap berlalu. Hembusan bayu menerpa rambutnya yang panjang menjuntai hingga lutut dengan sepoi lirih. Wajah putih-pucat-mulusnya tampak kecewa, lalu murung, lalu dua bola matanya kembali menjelajah malam untuk melanjutkan pencarian, selalu diakhiri dengan pandangan kecewa.
***
Sayup-sayup suara tangis terdengar dari lubang-lubang gedhek yang longgar. Puluhan pasang telinga tak heran dengan suara yang menguap dari bilik rumah Haryati. Ya, sudah seminggu ia ditinggal mati suaminya dan hingga kini ia tak kunjung menampakkan diri. Ada yang khawatir, ada pula yang malah berbahagia atas kematian suaminya, Kardun. Kardun mati meninggalkan sejumlah hutang yang tak terbayar dan juga seorang istri dengan perut buncit yang isinya janin 7 bulan. Ya, masih 7 hari kematian Kardun membuat warga enggan menagih utang kepada Haryati, mengigat kondisinya yang masih dirudung pilu dan hingga kini belum menampakkan ujung hidungnya di dahapan warga.
“Kau sudah menjenguk Haryati?”
“Belum, rumahnya terkunci rapat dan tirai jendelanya juga tak kalah rapat”
“Apa yang dia makan? Kurasa tak banyak warga yang memberinya sembako atas kematian suaminya”
“Lagi pula siapa yang mau menyantuni istri dukun? Biar saja dia minta pada genderuwo yang sudah menitiskan janin di perutnya!”
Kardun, suami Haryati, bekerja sebagai penggali makam. Namun kurang dari setahun belakangan ini dia mempunyai pekerjaan sampingan, sebagai orang pintar katanya. Di tengah makam tempat ia bekerja, ada sebuah pohon tua yang sangat besar. Konon, pohon itu tak dapat ditebang dan ditengah rantingnya yang lebat terdapat sarang genderuwo yang sering menampakkan diri di malam hari. Di pohon itulah Kardun meletakkan sajen beserta kembang aneka rupanya setiap jumat malam, rutin sejak ia menamakan diri sebagai orang pintar di kampungnya. Dan sejak ia mulai memproklamirkan profesi barunya itulah, Haryati hamil. Beberapa warga ada yang bersyukur, selebihnya curiga bukan main atas kehamilan tersebut. Pasalnya, Haryati dan Kardun sudah menikah selama lebih dari 10 tahun yang lalu, namun belum dikaruniai anak. Entah mengapa Haryati dinyatakan hamil setelah Kardun menggeluti profesi gandanya itu.
Karena profesi Kardun yang dicap buruk di kampunya, banyak warga tak bersimpati atas kematiannya, alih-alih terhadap istrinya yang menjanda dalam kondisi bunting. Meskipun Kardun memiliki banyak pelanggan, namun tak satupun dari mereka berasal dari kampungnya sediri. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berada dan bahkan seleb. Warga kian curiga karena semenjak Kardun menjadi orang pintar, ia enggan shalat berjamaah di surau apalagi mengumandangkan adzan, padahal sejatinya Kardun tak pernah absen untuk mengumandangkan panggilan Allah di saat senja menjelma hitam.
“Kardun itu mandul! Mana mungkin Haryati bisa hamil?”
“Bayi di rahimnya itu pasti bukan anak si Kardun”
“Genderuwo! Itu pasti titisan genderuwo yang selama ini dipuja suaminya”
“Apalagi Haryati hamil tak lama setelah suaminya jadi dukun”
“Kita tunggu saja bagaimana rupa jabang bayinya itu saat lahir”
“Jangan-jangan yang di perutnya itu bukan manusia”
Jangankan dengan berbisik lirih, warga bahkan tak segan untuk menggunjing Haryati tepat di samping rumahnya, di mana berhadapan langsung dengan jendela kamar Haryati. Tak heran Haryati jadi semakin pilu dan uring-uringan. Makin hari makin sering terdengar suara pecahan kaca, mungkin perabot rumah tangga seperti piring atau gelas, yang mewarnai kesunyian malam dari bilik rumah Haryati. Kini, tak ada satupun yang benar-benar mengasihaninya. Tak ada yang mau mengetuk pintu rumahnya sekedar untuk menanyakan kabar ataupun mengirim makanan. Satu hal yang pasti, suara pecahan kaca sudah cukup mengisaratkan bahwa Haryati masih hidup dan mendekam di dalam rumahnya.
Lewat 14 hari kematian Kardun, Haryati kembali menampakkan diri. Ia tak lagi lusuh dan berparas pilu seperti yang dibayangkan warga. Wajahnya tampak segar dan bersolek walau perut buncitnya tetap menggembung di bawah dadanya. Haryati berjalan santai sambil terus memeluk perut buncitnya, seakan perut itu akan lepas jika ia tak melakukan hal itu. Seutas senyum ia lemparkan pada tiap-tiap warga yang berpapasan dengannya, walau senyum itu dibalas dengan kecut oleh warga, ia tak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya hingga sosoknya tak terlihat lagi, pergunjingan pun berlanjut.
“Mau kemana dia?”
“Ke kuburan mungkin”
“Mungkin ia mau menangis di makam suaminya”
“Pasti dia mau curhat sama bapak dari bayinya”
“Kardun?”
“Bodoh! Pasti demit yang mendiami pohon tua tengah kuburan itu lah”
“Ayo kita ikuti, mau kemana dia. Jangan-jangan memang mau curhat sama dedemit suaminya itu”
Benar saja, Haryati bukannya menghampiri pusara suaminya, ia bahkan malah duduk bersimpuh sambil bersandar ke pohon tua. Ia tidak menangis. Ia justru nampak bahagia. Ada yang mendengar dia menyanyi, entah lagu apa. Suaranya yang merdu –karena profesinya saat melajang sebagai biduan—terdengar lirih tertiup angin. Di tangannya tergenggap beberapa batang kemenyan yang masih belum tersulut api. Warga yang kecurigaannya bangkit mulai menyusun rencana. Secara bergantian mereka akan mengawasi rumah Haryati, tentunya saat Haryati ada di dalam rumah.
Beberapa hari menguntit rumah Haryati, kecuriagaan warga membuahkan hasil. Haryati kerap bercakap-cakap dengan tembok, menurut hasil intipan warga, dan meletakkan secangkir kopi beserta beberapa kuntum bunga di sudut ruangan. Itu yang selalu dijalani Haryati selama pengawasan warga. Warga yang kian geram mulai mengumpulkan anggota untuk mendatangi rumah Haryati, mereka akan mengusirnya keluar dari kampung ini.
Di malam yang kelabu, warga berbondong-bondong mendatangi rumah Haryati. Di tangan mereka masing-masing tersongsong sebuah obor dengan api merahnya yang menyala-nyala. Dari mulut mereka keluar gunjingan-gunjingan yang tak kunjung reda. Mendekati halaman rumah Haryati, mereka berhenti bergunjing dan beralih memanggil namanya.
“Haryati! Keluar kau!”
“Jangan hanya bersembunyi bersama tembok bisumu yang naif!”
“Ayo keluar, dasar janda demit!”
Haryati kaget bukan main menyaksikan puluhan warga –yang mengerumuni halaman rumahnya dengan setangkai obor di masing-masing kepalan tangan mereka— dari balik cela gedheknya. Segala umpatan mereka lontarkan diiringi dengan nama Haryati yang terus disebut-sebut. Haryati panik dan dengan tergopoh-gopoh ia keluar mendatangi warga yang kian membabi-buta mengumpatkan kata-kata keji terhadap dirinya dan suami tercintanya. Saking paniknya, belum sempat ia bertanya ia sudah terlanjur gugup dan tak mampu berbicara. Kedua tangannya mendekap erat si calon jabang bayi yang sedang tertidur pulas di rahimnya. Perlahan ia mulai merintih kesakitan. Darah segar mulai mengalir membuat lintasan berkelok di sepanjang betisnya yang telanjang. Ia akan melahirkan. Warga yang iba meminta beberapa dari mereka yang berprofesi sebagai dukun bayi untuk membantu persalinan Haryati. Haryati menjerit kesakitan diakhiri dengan suara tangis bayi yang membubul dari celah selangkangannya. Bulir-bulir keringat yang sedari tadi membasahi keningnya tak ia pedulikan. Ia hanya ingin melihat bayinya. Belum sempat ia melihat wajah si jabang bayi, dukun bayi itu berteriak dan membawa bayinya ke hadapan warga yang menunggu di luar.
“Bayi Haryati bertaring! Bayi Haryati bertaring!!”
Rasa iba warga beberapa saat yang lalu pun serentak sirna. Semua yakin, itu bukan anak kandung Kardun, melainkan anak biologis dari makhluk yang selama ini ia sembah. Tanpa mempedulikan Haryati, warga beramai-ramai meninggalkan rumah itu dan membawa bayi itu pergi. Warga melarungkan abu bayi merah itu setelah sebelumnya mereka bakar hingga menjelma serpihan kelabu ke sungai.
***
Di ambang pintu, Haryati merangkak mencari bayinya. Hingga akhirnya ia terkulai lemas karena pendarahan yang tak terhentikan itu perlahan merenggut nyawanya. Ia mati dalam sunyi. Tanpa seorangpun disisinya.
Enya Dibna
Malang, 26 April 2013
*)Note:
1. Gedhek: Tembok bambu yang berasal dari anyaman kulit bambu
2. Surau: Langgar/Masjid kecil

3. Biduan: Penyanyi Dangdut

FYI, cerpen ini kuketik tepat lima tahun yang lalu. Bukan typo nulis tahun.

No comments:

Post a Comment