Cerita ini bermula
pada suatu malam yang becek.
Malam yang terlampau lama berselimut hujan. Malam yang gemericik. Di mana tak seorangpun rela
hengkang dari dalam rumah
untuk sekedar memenuhi jadwal ronda. Dan disaat hujan mulai mereda, malam kian
berbalut sunyi, dan perlahan desah nyanyian Lingsir
Wengi mulai berkumandang ke seluruh penjuru desa. Mengusik kedamaian lewat
celah-celah tembok bambu. Memaksa masuk ke gendang-gendang telinga yang tak
tersumpal. Seluruh mata terjaga, seluruh jiwa gelisah. Nyanyian itu tak kunjung
reda. Semua berharap fajar segera tiba. Agar desahan tersebut secepatnya sirna.
***
Sesosok wanita berpakaian putih bersih
sepanjang lekuk tubuhnya nampak bingung mencari sesuatu. Ia berlalu bagai
angin. Ke sana. Ke sini. Makadam yang basah oleh guyuran hujan barusan tak ia
hiraukan. Tak peduli pakaian long dressnya
akan basah, ia tetap berlalu. Hembusan bayu menerpa rambutnya yang panjang
menjuntai hingga lutut dengan sepoi lirih. Wajah putih-pucat-mulusnya tampak
kecewa, lalu murung, lalu dua bola matanya kembali menjelajah malam untuk
melanjutkan pencarian, selalu diakhiri dengan pandangan kecewa.
***
Sayup-sayup
suara tangis terdengar dari lubang-lubang gedhek
yang longgar. Puluhan pasang telinga tak heran dengan suara yang menguap dari
bilik rumah Haryati. Ya, sudah seminggu ia ditinggal mati suaminya dan hingga
kini ia tak kunjung menampakkan diri. Ada yang khawatir, ada pula yang malah
berbahagia atas kematian suaminya, Kardun. Kardun mati meninggalkan sejumlah
hutang yang tak terbayar dan juga seorang istri dengan perut buncit yang isinya
janin 7 bulan. Ya, masih 7 hari kematian Kardun membuat warga enggan menagih
utang kepada Haryati, mengigat kondisinya yang masih dirudung pilu dan hingga
kini belum menampakkan ujung hidungnya di dahapan warga.
“Kau
sudah menjenguk Haryati?”
“Belum,
rumahnya terkunci rapat dan tirai jendelanya juga tak kalah rapat”
“Apa
yang dia makan? Kurasa tak banyak warga yang memberinya sembako atas kematian
suaminya”
“Lagi
pula siapa yang mau menyantuni istri dukun? Biar saja dia minta pada genderuwo
yang sudah menitiskan janin di perutnya!”
Kardun,
suami Haryati, bekerja sebagai penggali makam. Namun kurang dari setahun
belakangan ini dia mempunyai pekerjaan sampingan, sebagai orang pintar katanya.
Di tengah makam tempat ia bekerja, ada sebuah pohon tua yang sangat besar.
Konon, pohon itu tak dapat ditebang dan ditengah rantingnya yang lebat terdapat
sarang genderuwo yang sering menampakkan diri di malam hari. Di pohon itulah
Kardun meletakkan sajen beserta kembang aneka rupanya setiap jumat malam, rutin
sejak ia menamakan diri sebagai orang pintar di kampungnya. Dan sejak ia mulai
memproklamirkan profesi barunya itulah, Haryati hamil. Beberapa warga ada yang
bersyukur, selebihnya curiga bukan main atas kehamilan tersebut. Pasalnya,
Haryati dan Kardun sudah menikah selama lebih dari 10 tahun yang lalu, namun
belum dikaruniai anak. Entah mengapa Haryati dinyatakan hamil setelah Kardun
menggeluti profesi gandanya itu.
Karena
profesi Kardun yang dicap buruk di kampunya, banyak warga tak bersimpati atas
kematiannya, alih-alih terhadap istrinya yang menjanda dalam kondisi bunting.
Meskipun Kardun memiliki banyak pelanggan, namun tak satupun dari mereka
berasal dari kampungnya sediri. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang
berada dan bahkan seleb. Warga kian curiga karena semenjak Kardun menjadi orang
pintar, ia enggan shalat berjamaah di surau
apalagi mengumandangkan adzan, padahal sejatinya Kardun tak pernah absen untuk
mengumandangkan panggilan Allah di saat senja menjelma hitam.
“Kardun
itu mandul! Mana mungkin Haryati bisa hamil?”
“Bayi
di rahimnya itu pasti bukan anak si Kardun”
“Genderuwo!
Itu pasti titisan genderuwo yang selama ini dipuja suaminya”
“Apalagi
Haryati hamil tak lama setelah suaminya jadi dukun”
“Kita
tunggu saja bagaimana rupa jabang bayinya itu saat lahir”
“Jangan-jangan
yang di perutnya itu bukan manusia”
Jangankan
dengan berbisik lirih, warga bahkan tak segan untuk menggunjing Haryati tepat
di samping rumahnya, di mana berhadapan langsung dengan jendela kamar Haryati.
Tak heran Haryati jadi semakin pilu dan uring-uringan. Makin hari makin sering
terdengar suara pecahan kaca, mungkin perabot rumah tangga seperti piring atau
gelas, yang mewarnai kesunyian malam dari bilik rumah Haryati. Kini, tak ada
satupun yang benar-benar mengasihaninya. Tak ada yang mau mengetuk pintu
rumahnya sekedar untuk menanyakan kabar ataupun mengirim makanan. Satu hal yang
pasti, suara pecahan kaca sudah cukup mengisaratkan bahwa Haryati masih hidup
dan mendekam di dalam rumahnya.
Lewat
14 hari kematian Kardun, Haryati kembali menampakkan diri. Ia tak lagi lusuh
dan berparas pilu seperti yang dibayangkan warga. Wajahnya tampak segar dan
bersolek walau perut buncitnya tetap menggembung di bawah dadanya. Haryati
berjalan santai sambil terus memeluk perut buncitnya, seakan perut itu akan
lepas jika ia tak melakukan hal itu. Seutas senyum ia lemparkan pada tiap-tiap
warga yang berpapasan dengannya, walau senyum itu dibalas dengan kecut oleh
warga, ia tak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya hingga sosoknya tak
terlihat lagi, pergunjingan pun berlanjut.
“Mau
kemana dia?”
“Ke
kuburan mungkin”
“Mungkin
ia mau menangis di makam suaminya”
“Pasti
dia mau curhat sama bapak dari bayinya”
“Kardun?”
“Bodoh!
Pasti demit yang mendiami pohon tua tengah kuburan itu lah”
“Ayo
kita ikuti, mau kemana dia. Jangan-jangan memang mau curhat sama dedemit
suaminya itu”
Benar
saja, Haryati bukannya menghampiri pusara suaminya, ia bahkan malah duduk
bersimpuh sambil bersandar ke pohon tua. Ia tidak menangis. Ia justru nampak
bahagia. Ada yang mendengar dia menyanyi, entah lagu apa. Suaranya yang merdu
–karena profesinya saat melajang sebagai biduan—terdengar
lirih tertiup angin. Di tangannya tergenggap beberapa batang kemenyan yang
masih belum tersulut api. Warga yang kecurigaannya bangkit mulai menyusun
rencana. Secara bergantian mereka akan mengawasi rumah Haryati, tentunya saat
Haryati ada di dalam rumah.
Beberapa
hari menguntit rumah Haryati, kecuriagaan warga membuahkan hasil. Haryati kerap
bercakap-cakap dengan tembok, menurut hasil intipan warga, dan meletakkan
secangkir kopi beserta beberapa kuntum bunga di sudut ruangan. Itu yang selalu
dijalani Haryati selama pengawasan warga. Warga yang kian geram mulai
mengumpulkan anggota untuk mendatangi rumah Haryati, mereka akan mengusirnya
keluar dari kampung ini.
Di
malam yang kelabu, warga berbondong-bondong mendatangi rumah Haryati. Di tangan
mereka masing-masing tersongsong sebuah obor dengan api merahnya yang
menyala-nyala. Dari mulut mereka keluar gunjingan-gunjingan yang tak kunjung
reda. Mendekati halaman rumah Haryati, mereka berhenti bergunjing dan beralih
memanggil namanya.
“Haryati!
Keluar kau!”
“Jangan
hanya bersembunyi bersama tembok bisumu yang naif!”
“Ayo
keluar, dasar janda demit!”
Haryati
kaget bukan main menyaksikan puluhan warga –yang mengerumuni halaman rumahnya
dengan setangkai obor di masing-masing kepalan tangan mereka— dari balik cela
gedheknya. Segala umpatan mereka lontarkan diiringi dengan nama Haryati yang
terus disebut-sebut. Haryati panik dan dengan tergopoh-gopoh ia keluar
mendatangi warga yang kian membabi-buta mengumpatkan kata-kata keji terhadap
dirinya dan suami tercintanya. Saking paniknya, belum sempat ia bertanya ia
sudah terlanjur gugup dan tak mampu berbicara. Kedua tangannya mendekap erat si
calon jabang bayi yang sedang tertidur pulas di rahimnya. Perlahan ia mulai
merintih kesakitan. Darah segar mulai mengalir membuat lintasan berkelok di
sepanjang betisnya yang telanjang. Ia akan melahirkan. Warga yang iba meminta
beberapa dari mereka yang berprofesi sebagai dukun bayi untuk membantu
persalinan Haryati. Haryati menjerit kesakitan diakhiri dengan suara tangis
bayi yang membubul dari celah selangkangannya. Bulir-bulir keringat yang sedari
tadi membasahi keningnya tak ia pedulikan. Ia hanya ingin melihat bayinya.
Belum sempat ia melihat wajah si jabang bayi, dukun bayi itu berteriak dan
membawa bayinya ke hadapan warga yang menunggu di luar.
“Bayi
Haryati bertaring! Bayi Haryati bertaring!!”
Rasa
iba warga beberapa saat yang lalu pun serentak sirna. Semua yakin, itu bukan
anak kandung Kardun, melainkan anak biologis dari makhluk yang selama ini ia
sembah. Tanpa mempedulikan Haryati, warga beramai-ramai meninggalkan rumah itu
dan membawa bayi itu pergi. Warga melarungkan abu bayi merah itu setelah
sebelumnya mereka bakar hingga menjelma serpihan kelabu ke sungai.
***
Di
ambang pintu, Haryati merangkak mencari bayinya. Hingga akhirnya ia terkulai
lemas karena pendarahan yang tak terhentikan itu perlahan merenggut nyawanya.
Ia mati dalam sunyi. Tanpa seorangpun disisinya.
Enya Dibna
Malang, 26 April 2013
*)Note:
1. Gedhek: Tembok bambu yang berasal dari
anyaman kulit bambu
2. Surau: Langgar/Masjid kecil
3. Biduan: Penyanyi Dangdut
FYI, cerpen ini kuketik tepat lima tahun yang lalu. Bukan typo nulis tahun.
No comments:
Post a Comment