Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentangnya
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Kuingin ku lupakannya
Hari demi hari, minggu demi
minggu. Hanya judul lagu “Lumpuhkan Ingatanku” garapan band Geisha yang ada di
list mp3 player Dinda. Entah itu di ponsel, di aplikasi winamp milik laptopnya,
di ipod, dan di pemutar musik apapun yang ia miliki, hanya lagu itu yang
diputar, berrrrkali-kali hingga ia berpaling ke kesibukan lainnya.
“Blok di sini, klik kanan,
queue it up! Yak!”, bisik salah seorang teman Dinda yang saat itu sedang
mengotak atik leptop Dinda. Dinda masih sibuk dengan pekerjaan rumahnya
sementara sahabat-sahabatnya sudah asik memainkan leptopnya.
Irene, Jeremy, dan Niko
berusaha mengalihkan perhatian Dinda dari lagu Lumpuhkan Ingatanku-nya band Geisha. Tidak hanya kali ini, tapi
sudah berulang kali mereka mencoba memasukkan lagu-lagu pop baik dalam negeri
maupun luar negeri di daftar lagu yang diputar di leptop dan ponsel Dinda. Tapi
apa mau dikata, kesalahan terbesar mereka bertiga adalah semua lagu yang mereka
daftarkan tersebut malah dihapus setelah berhasil terdendangkan selama beberapa
detik. Ahhh.. gagal maning, gagal maning. Begitulah kata pepatah jawa.
Kegilaan Dinda terhadap lagu
Lumpuhkan Ingatanku tersebut berawal
dari hari di mana ia dan kekasihnya, Rino, berencana merayakan hari jadian
mereka yang ke dua tahun. Hal terburuk yang pernah ada dalam memori Dinda.
Dinda sangat menyayangi Rino, bukan hanya karena Rino adalah pacarnya, tapi
karena Rino adalah idolanya saat pertama masuk SMU. Dinda dan Rino adalah teman
sekelas semasa orientasi, Rino yang amat kharismatik sebagai ketua pleton pun
akhirnya menjadi idola Dinda. Sebagai penggemar Rino, Dinda tentu tau apapun
tentangnya. Biodata lengkap, makanan favorit, lagu favorit, klub bola favorit,
dan segala-galanya yang menyangkut Rino.
Dinda tidak terang-terangan
mengungkapkan perasaannya pada Rino, dia pemalu. Saat sudah memasuki hari aktif
persekolahan, mereka berdua ternyata tidak ditakdirkan untuk hidup dalam satu
kelas. Tiap jam istirahat, Dinda tak pernah absen untuk mejeng di depan kelas
Rino, berharap Rino keluar kelas dan lewat di depannya. Harapannya tak pernah
sia-sia karena tempatnya bertengger adalah satu-satunya jalan bagi Rino menuju
kantin, dan tiap Rino melewatinya Dinda langsung menjerit selirih-lirihnya bak
baru disalami personil boyband Korea. Dahsyat sekali reaksinya.
Hari berganti minggu, dan
minggu berganti bulan. Dengan segala upaya Dinda dan sahabat-sahabatnya,
akhirnya Rino dan Dinda pun jadian. Mereka bertahan cukup lama dan selalu
terlihat lengket di manapun mereka berdua. Satu hal yang disukai Dinda saat
berpacaran dengan Rino adalah kenyataan bahwa kebiasaan mereka hampir sama.
Bagi Dinda, Rino sama dengannya, mereka sama-sama jujur, lugu, dan ceria.
Mereka selalu kompak di setiap acara, tak heran bila banyak teman-teman satu
sekolah yang iri dengan hubungan mereka.
Tibalah hari anniversary
mereka yang pertama. Rino diminta naik podium untuk berpidato karena terpilih
sebagai ketua osis. Walau sudah lama berpacaran dengan Rino, Dinda tetap
mengidolakannya. Dinda tetap menjerit selirih-lirihnya saat melihat Rino unjuk
gigi di acara apapun, terkecuali saat Rino bertanding basket Dinda akan
menjerit sekencang-kencangnya untuk menyemangatinya. Kehebohan terjadi saat
Rino menutup pidatonya di depan banyak orang, “Demikian sambutan saya sebagai
ketua osis yang baru, terimakasih atas perhatiannya. Untuk Dinda, happy first
anniversary ya dear, love you. Wassalamualaikum wr. wb.”, tutup Rino. Banyak
peserta upacara yang bersuit-suitan karenanya, dan kali ini Dinda tidak
menjerit. Wajahnya merah padam karena malu, tapi hari itu menjadi hari paling
membahagiakan untuknya. Untungnya hal ini tidak terlalu menuai konflik di
antara para guru terlebih kepala sekolah.
Dinda menjadi salah satu
anggota osis yang terpilih sebagai kakak pembina orientasi siswa baru saat ia
duduk di bangku kelas dua. Saat itu, ia dekat dengan salah seorang siswi baru
asal luar kota. Namanya Adel. Adel belum paham betul tentang seluk beluk kota
barunya karena perbedaan budaya, dan Dinda pun membantunya untuk beradaptasi.
Mereka pun dekat walau masa orientasi siswa baru sudah berlalu. Tidak lama
setelah itu, Adel dekat dengan teman sekelas Dinda yang terkenal alim, Fahrul.
Fahrul yang pemalu pun akhirnya didesak Dinda untuk meresmikan hubungannya
dengan Adel. Yap, Dinda menjadi makcomblang antara Fahrul dan Adel. Setelah
jadian, tak jarang Dinda mengajak Adel untuk melakukan kencan bersama alias double date. Dinda dengan Rino, dan Adel
dengan Fahrul. Walau Dinda paling muda usianya diantara mereka berempat, tapi
kekompakan di antara mereka begitu cepat dibangun.
“Adel cantik ya?”, kata Rino
saat makan di kantin bersama Dinda. Pandangan mata Rino tertuju pada Adel yang
ada di sudut kantin.
“Kamu suka ya?”, balas
Dinda. Bibirnya ia monyong-monyongkan sambil melotot ke arah Rino.
“Hahaha... Adel kan punya
Fahrul, Rino punya Dinda. Betul?” Goda Rino. Wajah Dinda pun memerah. Rino
selalu saja bisa membuat wajahnya merah padam karena malu, malu dalam artian
bahagia.
“Ehya, Sayang, tukeran hape
yuk. Dinda bosen sama hape Dinda nih”, ajak Dinda di sela canda tawa mereka.
Wajah Rino berubah bingung.
“Loh kok tiba-tiba bosen?
Kenapa nggak dituker-tambahin aja di toko hape, Sayang?”
“Belom kepikiran buat ganti
hape sih. Tapi uda biasa kan orang pacaran tuker-tukeran hape. Gapapa kan?”
“Emm.. iyadeh. Tapi kartu
SIMnya nggak udah ya? Aku kan ketua osis, banyak yang ngehubungin”, jawab Rino
dengan seribu senyuman. Dinda pun setuju.
***
Di kamar, Dinda sedang asik
mengutak-atik ponsel pacarnya. Baru kali ini ia pegang ponsel Rino karena
sebagai ketua osis, Rino sangat berhati-hati dan tidak sembarangan meminjamkan
barang-barangnya termasuk ponsel. Saat Dinda membuka menu kotak masuk, ternyata
ada beberapa sms Rino yang tersimpan di memori telepon. Beberapa adalah sms
dari Adel. Ternyata selain kepada Dinda, Adel juga menceritakan masalah
pribadinya pada Rino. Dinda biasa saja saat tau itu, karena ia dan Rino sudah
menganggap Adel sebagai adik mereka sendiri.
Tak berapa lama, Dinda mulai menekan-nekan tombol dan
menghubungi seseorang di luar sana, Irene, sahabatnya yang paling upadate
mengenai gosip anak muda.
“Din, uda denger gosip terbaru belom?”
“Gosip yang mana dulu?”
“Soal adikmu, si Adel!”
“Apaan? Apaan?”
“Banyak yang bilang dia hamil!”
“Whattt!!!???” Teriak Dinda.
Menurut Irene, gosip yang
masih hangat di telinganya itu hanya isu. Tapi gosipers-gosipers di sekolahnya
sangat yakin akan kebenarannya. Selidik punya selidik, Adel yang hobi minum jus
nanas sekarang mulai menghindari minuman yang satu itu tanpa alasan. Ya mungkin
saja Adel sudah bosan atau sedang radang tenggorokan. Terlebih karena pacar
Adel, si Fahrul, adalah laki-laki alim yang dijamin tidak akan memicu kehamilan
di luar nikah.
Walau gosip itu diyakini
tidak benar adanya, tapi Adel sangat murung karenanya. Dinda yakin, Adel sangat
tertekan karena fitnah itu. Adel menangis di pelukan Dinda saat Dinda
menyediakan waktu untuk dicurhati.
“Kenapa temen-temen satu
sekolahan bisa bilang kayak gitu, Kak?”, ratap Adel sambil sesenggukan. Dinda
hanya mengelus kepalanya perlahan.
“Ada yang bilang itu karena
kamu yang dulu suka jus nanas sekarang jadi nggak doyan. Kamu sakit tenggorokan
ya, Del?” Tanya Dinda. Adel pun mengangguk sambil melempar pandangannya
jauh-jauh. “Kalo gitu, setelah tenggorokanmu normal, kamu harus sering-sering
mejeng sambil minum jus nanas, Del!”, saran Dinda dengan polosnya. Adel diam
sejenak dan mengangguk lagi.
***
Dinda bangun di pagi hari
dengan gembira. Hari ini ia bangun satu menit lebih dulu dari teriakan jam
weker mungilnya. Sebelum berangkat, Dinda menyempatkan diri untuk memberi tanda
silang pada kalender duduknya. Beberapa hari lagi adalah hari besarnya,
anniversarynya dengan Rino yang ke dua tahun. Dinda ingin memberikan kejutan
spesial untuk Rino.
Siang itu, sepulang sekolah,
Dinda kesulitan menghubungi Rino. Ia menunggu Rino di atas motor Rino yang
terparkir di parkiran sekolah tapi yang ditunggu tak kunjung muncul. Akhirnya
Dinda pun memutuskan untuk mencari pacarnya di seluk-beluk sekolah dengan
sebelumnya meninggalkan secarik kertas bertuliskan “Dinda masih di sekolah,
kamu ditelpon susah banget sih? Tunggu Dinda ya!” di kantong motor matic Rino.
Pencarian di ruang kelas
Rino, ruang osis, dan lapangan basket hasilnya nihil. Kini Dinda beranjak
menuju taman belakang sekolah. Sebelum ia benar-benar tiba di taman belakang,
ia dengar suara Rino dan Adel sedang berdebat sengit. Ternyata Rino di situ.
Tapi mengapa bersama Adel? Batin Dinda mulai terusik.
“Tiga bulan, Rino! Tiga
bulan!”
“Terus aku harus gimana,
Del? Nikahin kamu?”
“Apa lagi? Perutku uda
gabisa ditutupin lagi, Rino!”
“Trus gimana sama Fahrul?
Dan Dinda? Aku nggak bisa lepasin Dinda, Del.”
Betapa terkejut Dinda
mendengar percakapan antara Adel dan Rino dengan begitu jelas. Hatinya hancur.
Dinda mengumpulkan segala kekuatan dan keberaniannya untuk menampakkan diri di
hadapan mereka berdua.
“Lepasin aku, No. Aku nggak
apa-apa. Hubungan kita uda nggak bisa lanjut lagi”, kata Dinda dengan mata
berkaca-kaca. Air matanya masih bertahan di pelupuk matanya.
“Aku sayang kamu, Din..”
Rino bermaksud menghampiri Dinda.
“Berhenti di situ! Kamu
bilang kamu sayang aku, trus mau bilang kalo kamu sayang Adel jugak? Hah?!”
Dinda membalikkan badannya. Kini bulir-bulir air matanya sudah tak mampu bertahan.
Mereka berjatuhan membasahi kedua pipi Dinda. “Kita putus.”
Rino sudah paham, beginilah
akhir hubungan mereka. Ia begitu menyesal atas segala yang terjadi. Ia
bermaksud mengejar Dinda saat Dinda mulai beranjak pergi, namun seorang
laki-laki berjalan ke arahnya dengan begitu cepat dan menghantam pipi kirinya.
Fahrul sudah sedari tadi mengamati mereka dengan hati yang hancur, jauh sebelum
kedatangan Dinda.
***
“Kalian apain lagi sih
winamp-ku?”, tanya Dinda pada ketiga sahabatnya tanpa melihat. Kedua bola
matanya masih tertuju pada selembar kertas folio bergaris yang penuh dengan
rumus-rumus fisika.
“Lagi ikhtiar aja, Din.
Udah, fokus aja sama rumus-rumusmu! Punya kita aja uda kelar dari tadi”, jawab
Niko.
“Yeee tadi kan aku lama di
dapur buat masakin kalian. Mangkanya pe-erku belom selesai-selesai!” Sahut
Dinda dengan raut wajah sewot. Beberapa saat kemudian Dinda beranjak pergi
meninggalkan ketiga sahabatnya menuju balkon. Setibanya di sudut balkon, Dinda
meraih secarik kertas setebal buffalo yang setengah bagiannya sudah hangus
terbakar. Masih jelas terbaca beberapa kata di kertas tersebut, “Adelia &
Rino”.
--TAMAT--
**cerpen ini turut bergabung dalam antologi bersama "Lumpuhkan Ingatanku" terbitan Shield Publisher**
No comments:
Post a Comment