Dendam Rukaya
Oleh:
Enya Dibna Dirigwa
Hancur sudah harapan Lukman
untuk meminang Rukaya di akhir tahun ini. Wanita pujaan hatinya itu pasti serta
merta menolaknya karena kini Lukman tak lagi perjaka. Ia menyesal telah
menerima ajakan Junaedi untuk mampir ke warteg barunya. Lukman dibuat mabuk dan
ia berakhir di atas ranjang kapas bersama Nuri, tetangga sebelah rumahnya.
Betapa pedih hati Lukman
saat Rukaya mendatangi rumahnya untuk mengklarifikasi gosip yang beredar. Rukaya
masih bersikukuh untuk tidak mempercayai omongan orang-orang tentang aib yang
menimpa Lukman. Rukaya hanya akan percaya bilamana Lukman sendiri yang
mengatakannya, Rukaya teramat yakin pada cinta setia Lukman untuknya.
Lukman ragu untuk
membohongi Rukaya. Mau bagaimana lagi, Nuri telah berbadan dua karena dirinya.
Walau hal itu dilakukannya di luar kesadaran, namun bayi yang kini dikandung
Nuri tetaplah darah dagingnya. Lukman mengakui segalanya sembari menangis di
atas punggung kaki Rukaya. Ia sangat menyesal. Rukaya tampak kaget dan
terpukul. Gadis itu hanya diam tanpa kata, lalu pergi meninggalkan Lukman yang
masih menangis tersedu-sedu.
Tibalah hari pernikahan Lukman.
Seluruh undangan sudah hadir dan batang hidung Nuri belum juga tampak. Kedua
orang tua Nuri pusing bukan kepalang karena Nuri yang sedari tadi pamit ke
kamar mandi tak kunjung keluar. Didobraklah pintu kamar mandi tersebut dan Nuri
tampak terbujur kaku sambil memegangi dada kirinya. Ia tewas dan pernikahan pun
batal.
Beberapa bulan berlalu dan
Lukman masih mengharapkan kelanjutan hubungan asmaranya dengan Rukaya. Walau mereka
tak pernah bertatap muka sejak Rukaya mendatangi rumahnya saat itu, ia masih
yakin bahwa Rukaya tak mungkin berpaling pada pria lain. Benar saja, hingga
saat ini Rukaya masih melajang dan tak pernah terdengar kabar bahwa ia telah memiliki
kekasih pengganti Lukman. Saat ia mendatangi rumah Rukaya, orang tua Rukaya
langsung mengusirnya. Lukman masih bersikukuh ingin bertemu Rukaya dan mencoba
mencegatnya saat Rukaya pergi belanja ke pasar.
Lukman pun berhasil
menemui Rukaya saat gadis itu hendak masuk pasar. Rukaya tampak frustasi saat
melihat Lukman menghampirinya. “Aku masih mencintaimu, Rukaya. Mari kita
lanjutkan hubungan kita seperti dahulu”, pinta Lukman.
“Aku tak sudi! Kau bukan
perjaka yang dulu pernah kucintai. Kau sama saja dengan duda beranak satu.
Enyah kau dari hadapanku!”, bentak Rukaya sembari pergi meninggalkan Lukman. Lukman
benar-benar patah hati. Satu-satunya gadis pujaan hatinya kini telah menampik
cintanya. Tiada lagi cinta Rukaya untuknya.
Beberapa minggu berlalu dan
Lukman kini mulai digandrungi gadis-gadis di desanya, kecuali Rukaya. Lukman
yang tampan memang selalu menjadi pujaan hati tiap gadis. Lukman yang merasa
harus memulai kehidupan barupun menerima mereka dengan senang hati. Rina, si
gadis kembang desa, kini telah berhasil menaklukkan hatinya. Walau Lukman belum
berencana untuk meminang Rina, namun hubungan antar keluarga mereka begitu
dekat.
Lukman yang biasa
jalan-jalan dengan Rina di sore hari kebetulan berpapasan dengan Rukaya. Wajah Rukaya
tampak cemberut melihat kedekatan Lukman dengan Rina. Lukman memang masih
menyisakan sedikit ruang untuk Rukaya di hatinya, namun ia tak mungkin
melepaskan Rina begitu saja mengingat keluarga mereka sudah menyalakan lampu
hijau.
Tak lama setelah itu, Rina
jatuh sakit. Tubuhnya panas dan nafasnya seperti uap air yang mendidih. Dokter
pun angkat tangan terhadap penyakit yang diderita Rina. Makin hari tubuh Rina
kian kurus dan ia pun tutup usia dengan diagnosa serangan jantung.
Setelah lama ditinggalkan
oleh Rina, kini Lukman dekat dengan gadis sedesanya yang lain, Mina. Namun
hubungan mereka berakhir seperti halnya dengan Rina. Mina ditemukan terbujur
kaku dengan kedua tangan memegangi dada kirinya, sama seperti Nuri. Lukman
mengira ini kebetulan saja namun hal ini terus terjadi setiap kali ia menjalin
hubungan dengan seorang gadis.
Minggu demi minggu berlalu
dan tak ada gadis yang berani mendekati Lukman. Mereka yakin siapapun yang
berpacaran dengan Lukman pasti berakhir menyedihkan seperti para kekasih Lukman
sebelumnya. Rukaya tak masuk dalam hitungan mereka karena gadis itu tak pernah
menampakkan diri hingga kini. Ada yang bilang ia terserang penyakit aneh dan
malu untuk keluar rumah.
Setelah lama tak ada kabar
kematian gadis, mendadak Merita yang tak pernah menjalin hubungan dengan Lukman
pun mati dengan kondisi mencengkeram dada kirinya. Seluruh desa heboh lantaran
Merita tewas tak lama setelah menyerahkan bingkisan selamatan ke rumah Lukman.
Mereka yakin Lukman telah dikutuk karena dahulu pernah melalukan hubungan terlarang
dengan Nuri.
Penduduk pun
berbondong-bondong mendatangi rumah Lukman untuk meminta pertanggungjawaban.
Mereka tak lupa untuk membawa dukun untuk turut serta. Setelah dukun tersebut
melalukan ritual gaibnya terhadap Lukman, ia justru menafsirkan bahwa Lukman
hanyalah korban dari suatu kecemburuan. Pelakunya adalah orang lain yang ingin
memilikinya. Semua penduduk bertanya-tanya namun tak menghasilkan jawaban yang
semestinya. Lukman yang tak tega melihat korban berjatuhan (para gadis itu) pun
mengajak penduduk mendatangi rumah Rukaya. Entah setan apa yang merasuki
pikirannya hingga ia menuduh Rukaya yang melakukan semua ini.
Seluruh warga desa yang
tadi berbondong-bondong mendatangi rumah Lukman pun kini beralih menuju rumah Rukaya.
Rumah itu tampak sepi. Tak ada sebatang lilinpun yang hidup untuk meneranginya.
Penduduk yang telah merasa gusar pun mendobrak pintu rumah Rukaya dan mencari
gadis itu ke seluruh penjuru ruangan. Tak sulit untuk menemukan Rukaya. Gadis
itu tampak menggigil ketakutan di sudut suangan sambil memegangi sebuah boneka
jerami pada tangan kanan dan sebuah paku berkarat di tangan kirinya.
Dalam gemetar rasa
takutnya yang semakin menjadi-jadi, Rukaya mencabut beberapa helai rambutnya
dan mengikatkannya pada leher boneka jerami. Kemudian, ia tancapkan paku
berkarat ke dada boneka jerami itu dengan cepat. Tak sampai sedetik, Rukaya
mengerang kesakitan sambil memegangi dada kirinya. Ia menggeliat bagai cacing
di atas lautan garam, lalu mati terbujur kaku seperti gadis-gadis desa yang
lain.
cerpen ini telah dimuat majalah Tabir edisi Desember 2013
No comments:
Post a Comment