Wednesday, January 8, 2014

Dendam Rukaya


Dendam Rukaya
Oleh: Enya Dibna Dirigwa

Hancur sudah harapan Lukman untuk meminang Rukaya di akhir tahun ini. Wanita pujaan hatinya itu pasti serta merta menolaknya karena kini Lukman tak lagi perjaka. Ia menyesal telah menerima ajakan Junaedi untuk mampir ke warteg barunya. Lukman dibuat mabuk dan ia berakhir di atas ranjang kapas bersama Nuri, tetangga sebelah rumahnya.

Betapa pedih hati Lukman saat Rukaya mendatangi rumahnya untuk mengklarifikasi gosip yang beredar. Rukaya masih bersikukuh untuk tidak mempercayai omongan orang-orang tentang aib yang menimpa Lukman. Rukaya hanya akan percaya bilamana Lukman sendiri yang mengatakannya, Rukaya teramat yakin pada cinta setia Lukman untuknya.
Lukman ragu untuk membohongi Rukaya. Mau bagaimana lagi, Nuri telah berbadan dua karena dirinya. Walau hal itu dilakukannya di luar kesadaran, namun bayi yang kini dikandung Nuri tetaplah darah dagingnya. Lukman mengakui segalanya sembari menangis di atas punggung kaki Rukaya. Ia sangat menyesal. Rukaya tampak kaget dan terpukul. Gadis itu hanya diam tanpa kata, lalu pergi meninggalkan Lukman yang masih menangis tersedu-sedu.
Tibalah hari pernikahan Lukman. Seluruh undangan sudah hadir dan batang hidung Nuri belum juga tampak. Kedua orang tua Nuri pusing bukan kepalang karena Nuri yang sedari tadi pamit ke kamar mandi tak kunjung keluar. Didobraklah pintu kamar mandi tersebut dan Nuri tampak terbujur kaku sambil memegangi dada kirinya. Ia tewas dan pernikahan pun batal.
Beberapa bulan berlalu dan Lukman masih mengharapkan kelanjutan hubungan asmaranya dengan Rukaya. Walau mereka tak pernah bertatap muka sejak Rukaya mendatangi rumahnya saat itu, ia masih yakin bahwa Rukaya tak mungkin berpaling pada pria lain. Benar saja, hingga saat ini Rukaya masih melajang dan tak pernah terdengar kabar bahwa ia telah memiliki kekasih pengganti Lukman. Saat ia mendatangi rumah Rukaya, orang tua Rukaya langsung mengusirnya. Lukman masih bersikukuh ingin bertemu Rukaya dan mencoba mencegatnya saat Rukaya pergi belanja ke pasar.
Lukman pun berhasil menemui Rukaya saat gadis itu hendak masuk pasar. Rukaya tampak frustasi saat melihat Lukman menghampirinya. “Aku masih mencintaimu, Rukaya. Mari kita lanjutkan hubungan kita seperti dahulu”, pinta Lukman.
“Aku tak sudi! Kau bukan perjaka yang dulu pernah kucintai. Kau sama saja dengan duda beranak satu. Enyah kau dari hadapanku!”, bentak Rukaya sembari pergi meninggalkan Lukman. Lukman benar-benar patah hati. Satu-satunya gadis pujaan hatinya kini telah menampik cintanya. Tiada lagi cinta Rukaya untuknya.
Beberapa minggu berlalu dan Lukman kini mulai digandrungi gadis-gadis di desanya, kecuali Rukaya. Lukman yang tampan memang selalu menjadi pujaan hati tiap gadis. Lukman yang merasa harus memulai kehidupan barupun menerima mereka dengan senang hati. Rina, si gadis kembang desa, kini telah berhasil menaklukkan hatinya. Walau Lukman belum berencana untuk meminang Rina, namun hubungan antar keluarga mereka begitu dekat.
Lukman yang biasa jalan-jalan dengan Rina di sore hari kebetulan berpapasan dengan Rukaya. Wajah Rukaya tampak cemberut melihat kedekatan Lukman dengan Rina. Lukman memang masih menyisakan sedikit ruang untuk Rukaya di hatinya, namun ia tak mungkin melepaskan Rina begitu saja mengingat keluarga mereka sudah menyalakan lampu hijau.
Tak lama setelah itu, Rina jatuh sakit. Tubuhnya panas dan nafasnya seperti uap air yang mendidih. Dokter pun angkat tangan terhadap penyakit yang diderita Rina. Makin hari tubuh Rina kian kurus dan ia pun tutup usia dengan diagnosa serangan jantung.
Setelah lama ditinggalkan oleh Rina, kini Lukman dekat dengan gadis sedesanya yang lain, Mina. Namun hubungan mereka berakhir seperti halnya dengan Rina. Mina ditemukan terbujur kaku dengan kedua tangan memegangi dada kirinya, sama seperti Nuri. Lukman mengira ini kebetulan saja namun hal ini terus terjadi setiap kali ia menjalin hubungan dengan seorang gadis.
Minggu demi minggu berlalu dan tak ada gadis yang berani mendekati Lukman. Mereka yakin siapapun yang berpacaran dengan Lukman pasti berakhir menyedihkan seperti para kekasih Lukman sebelumnya. Rukaya tak masuk dalam hitungan mereka karena gadis itu tak pernah menampakkan diri hingga kini. Ada yang bilang ia terserang penyakit aneh dan malu untuk keluar rumah.
Setelah lama tak ada kabar kematian gadis, mendadak Merita yang tak pernah menjalin hubungan dengan Lukman pun mati dengan kondisi mencengkeram dada kirinya. Seluruh desa heboh lantaran Merita tewas tak lama setelah menyerahkan bingkisan selamatan ke rumah Lukman. Mereka yakin Lukman telah dikutuk karena dahulu pernah melalukan hubungan terlarang dengan Nuri.
Penduduk pun berbondong-bondong mendatangi rumah Lukman untuk meminta pertanggungjawaban. Mereka tak lupa untuk membawa dukun untuk turut serta. Setelah dukun tersebut melalukan ritual gaibnya terhadap Lukman, ia justru menafsirkan bahwa Lukman hanyalah korban dari suatu kecemburuan. Pelakunya adalah orang lain yang ingin memilikinya. Semua penduduk bertanya-tanya namun tak menghasilkan jawaban yang semestinya. Lukman yang tak tega melihat korban berjatuhan (para gadis itu) pun mengajak penduduk mendatangi rumah Rukaya. Entah setan apa yang merasuki pikirannya hingga ia menuduh Rukaya yang melakukan semua ini.
Seluruh warga desa yang tadi berbondong-bondong mendatangi rumah Lukman pun kini beralih menuju rumah Rukaya. Rumah itu tampak sepi. Tak ada sebatang lilinpun yang hidup untuk meneranginya. Penduduk yang telah merasa gusar pun mendobrak pintu rumah Rukaya dan mencari gadis itu ke seluruh penjuru ruangan. Tak sulit untuk menemukan Rukaya. Gadis itu tampak menggigil ketakutan di sudut suangan sambil memegangi sebuah boneka jerami pada tangan kanan dan sebuah paku berkarat di tangan kirinya.
Dalam gemetar rasa takutnya yang semakin menjadi-jadi, Rukaya mencabut beberapa helai rambutnya dan mengikatkannya pada leher boneka jerami. Kemudian, ia tancapkan paku berkarat ke dada boneka jerami itu dengan cepat. Tak sampai sedetik, Rukaya mengerang kesakitan sambil memegangi dada kirinya. Ia menggeliat bagai cacing di atas lautan garam, lalu mati terbujur kaku seperti gadis-gadis desa yang lain.


Malang, 3 Agustus 2013
cerpen ini telah dimuat majalah Tabir edisi Desember 2013

No comments:

Post a Comment