Bulan berkilau begitu
indahnya saat kutatap langit di sepertiga malam ramadhan ini. Hari ini adalah
hari di mana pertama kali aku mengenal Galih, sahabat karibku sejak SMU. Begitu
mengingat hal ini, pikiranku langsung terbang mundur ke saat-saat kebersamaan
kami di smu. Galih adalah teman pertamaku di sana. Dia adalah anak pertama yang
kukenal saat pekan ospek. Suka duka selalu kami lalui bersama. Walau akhirnya kami
memang tidak ditakdirkan untuk berada di kelas yang sama namun sampai kini pun
kami tetap bersahabat. Selain Galih , aku masih memiliki enam sahabat lain dan
semuanya perempuan. Hubungan kami tetap berjalan baik hingga lulus smu.
Berbeda dengan sahabat-sahabatku
yang lain , Galih memiliki posisi yang cukup istimewa di hatiku. Namun hingga
kini aku tak kunjung memiliki keberanian untuk mengutarakannya. Alasanku yang
pertama adalah karena aku perempuan, dan alasan kedua adalah karena tak ada
kata "pacaran" di kamus hidup Galih. Pernah suatu ketika ada seorang
junior cantik yang menyukai Galih. Gadis itu tau aku dekat dengan Galih, jadi
dia selalu curhat padaku tentang perasaannya. Pun dia memintaku untuk membantu
mencomblangkannya dengan Galih. Kututup rahasianya rapat-rapat namun ternyata Galih
lebih pintar dariku. Dia terang-terangan meminta kami untuk menyerah karena tak
ada kata pacaran di hidupnya. Hal inilah yang membuatku membungkam perasaanku
padanya hingga kini.
Kini kami telah memasuki
jenjang karir namun persahabatan kami tetap langgeng. Kami tak pernah berubah. Kami
masih sering menghabiskan waktu bersama. Main basket , nonton film di bioskop ,
kuliner di pinggir jalan, dan lain sebagainya. Kebiasaan kami bersama saat smu
itu tetap saja kami jalani.
Pagi pertama ramadhan ,
Galih bilang akan mampir ke rumah. Ada urusan dengan ayah katanya. Namun saat
kutanya pada ayah beliau bilang mereka tak ada janji, mungkin ayah atau Galih yang
lupa jadi kuminta ayah untuk meladeninya saja. Tibalah saat Galih ke rumah.
Wajahnya tampak gugup dan dandanannya rapih sekali. Dia bilang ingin bertemu
ibu, jadi ayahpun ikut menemuinya. Karena penasaran akupun ikut duduk di
sampingnya.
"Galih, aku ganggu
nggak kalo ikut duduk di sini?" tanyaku
"Nggak. Santai aja.
Hehe" jawabnya. Tapi tetap terukir raut gugup nan gelisah di wajahnya yang
bersih, kemudian ia menatap ayahku dengan mantap. '"Bapak, kita sudah
menjalin tali silaturahmi sejak lama. Apakah bapak tidak keberatan jika suatu
saat nanti saya menjadi menantu Bapak?"
Ya rabb , betapa
terkejutnya aku mendengar pernyataan Galih. Dia tak pernah membicarakan ini
denganku sebelumnya. Ayah dan ibu juga tampak terkejut namun ada rona bahagia
terpancar dari wajah mereka.
“bapak sih setuju saja,
ibu bagaimana?” jawab ayah sambil kemudian memandang ibu.
“Ibu juga.” Jawab ibu
sambil tersenyum. Lalu ibu memandangku. “Ibu kira kalian tidak pacaran. Kenapa Ratna
tida pernah cerita sama ibu?”
Aku hanya mampu melongo
tak percaya. Selama ini kami murni bersahabat, tidak lebih.
"kami tidak pacaran,
ibu. Kami hanya bertaaruf dalam bentuk persahabatan.” kata Galih mewakiliku.
Lalu ia beralih memandangku. "tapi sejak kita bersahabat, aku sudah mulai
menyukaimu. Kedua orangtuaku melarangku untuk berpacaran dan aku
menyanggupinya. Ratna, aku kini menyayangimu, tulus dari hati. Aku hanya
menunggu waktu yang tepat untuk mengakhiri persahabatan kita. Apakah kau
bersedia jika aku dan keluargaku meminangmu di malam 20 Ramadhan yang
bertepatan dengan ulang tahunmu nanti?" ucapnya dengan lancar. Kupikir dia
menghafal kata-katanya barusan sejak lama. Aku hanya termangu tak percaya.
"Bagaimana, nduk? Kau
terima lamaran Galih?" tanya ayah.
"I,
iya ayah. Ratna bersedia" jawabku gugup. Ya rabb, inikah buah yang kupetik
dari benih persahabatan yang kutanam sejak SMU? Ini adalah kado terindah bagi
hamba yang turun di bulan sucimu ini.
**cerpen ini turut bergabung dalam antologi bersama "Bulan Tuhan" terbitan Sembilan Mutiara Publishing**
No comments:
Post a Comment