Lastri melangkahkan kakinya dengan tergesa. Di genggamannya
ada sebilah pisau penuh darah. Keningnya mengerut. Peluhnya memenuhi wajahnya
yang senja. Beberapa pasang mata menatapnya di sepanjang pelarian. Lastri tetap
melangkah maju, sesekali berlari kecil. Kedua tangannya bersembunyi di saku
jaketnya. Salah satunya, dengan sebilah pisau berlumuran darah. Kini, kedua
bola matanya menatap sekeliling penuh curiga. Sesekali, ia terperanjat karena
matanya menangkap sosok Agus, samar, dan dimana-mana. Siapakah Agus? Tak lain adalah pria
muda yang baru saja disayatnya.
Gentayangankah si Agus? Latri tak bisa berpikir
jernih. Ia benar-benar kalut dan takut.
Lastri mempercepat langkah kakinya. Wajahnya tampak
berminyak. Kusam. Satu tikungan, dua tikungan, dia aman. Di tikungan ketika ia
mendengar suara Agus memanggilnya. Ia terperanjat sampai tersandung kakinya
sendiri. Pisau di genggamannya terdorong keluar saku, menembus pakaiannya, dan
merobek perutnya. Ia jatuh, sendiri, dalam sepi. Suara Agus tak terdengar lagi.
Kini, darahnya dan darah Agus bertemu dalam sebilah pisau dapur.
No comments:
Post a Comment