Thursday, August 1, 2013

Lukisan Lingga Ayu Joyodiningrat



Lukisan Lingga Ayu Joyodiningrat
Oleh: Enya Dibna 

Karin tak bisa tidur. Ia selalu memaksa ibunya untuk menceritakan dongeng-dongeng pengantar tidur sampai ia terlelap. Dari kisah Putri Salju, Ariel si Putri Duyung, hingga kisah Malin Kundang selalu diceritakan berulang kali hingga ia bosan. Ibunya kehabisan ide dan Karin tak kunjung tidur.
“Aku minta cerita yang lain, Bu. Aku sudah hafal sama dongeng yang ibu ceritakan barusan....”, rengek Karin.
“Baiklah, Ibu akan cerita yang agak seram. Tapi Karin janji akan langsung tidur setelah ceritanya tamat. Oke?”, jawab sang ibu sambil mengacungkan jari kelingkingnya, Karin mengangguk sambil menyahut jari kelingking ibu dengan kelingkingnya.
“Okey, kisah ini berawal dari suatu malam. Malam purnama, sekali dalam sebulan. Di mana rembulan bulat sedang memancarkan cahaya kuning pucatnya, disitulah kau akan melihat sosok siluet seorang gadis berambut panjang dengan sebuah kotak pipih bertegger di lekukan lengannya. Kau akan menjumpai siluetnya sedang berdiri anggun di ujung pohon cemara. Diiringi kicauan burung gagak dan deru jangkrik yang mewarnai keheningan malam purnama”

***
Dahulu kala, ada seorang pelukis muda berbakat bernama Lingling. Semua penduduk desanya hingga desa seberangpun mengenal kemahirannya dalam melukis. Suatu hari, datanglah Bapak Kepala Desa ke rumah Lingling, beliau tertarik dengan salah satu lukisan kesayangan Lingling dan menawarnya dengan harga tinggi. Saat itu Lingling sedang tak enak hati, tanpa sengaja ia menolak tawaran Pak Kades dengan perkataan yang sedikit tidak sopan. Pak Kades tersinggung bercampur malu karena Lingling melontarkan kata-kata tersebut di hadapan warganya.
Lingling menyesal atas perlakuannya yang tidak sopan terhadap Pak Kades. Sebagai tanda permintaan maaf, Lingling melukis Pak Kades beserta istrinya dengan tampilan setengah badan. Tampak keduanya mengenakan batik sarimbit bermotif mega mendung dengan paduan warna coklat dan merah delima. Kemudian Lingling menyerahkannya kepada Pak Kades, untunglah Pak Kades menerima lukisan beserta permintaan maafnya tanpa berbelit-belit.
Beberapa hari berikutnya, Pak Kades beserta istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Wajahnya remuk hampir tak dapat dikenali, namun badannya masih utuh. Anehnya, mereka berdua –Pak Kades dan istrinya- meninggal dengan mengenakan pakaian yang sama dengan yang dilukis Lingling.
“Kebetulan sekali pakaiannya sama dengan yang dilukis si Lingling”
“Jangan-jangan si Lingling bisa meramal”
“Mana mungkin, pasti ada sihir di lukisa itu!”
“Mana ada yang namanya sihir, ngaco kamu”
Gosip demi gosip mulai tersebar, namun tak kunjung menuai fakta. Perlahan segala isu pun menghilang seiring jalannya waktu. Lingling kembali menjadi pelukis ulung dan melupakan segala yang terjadi.
Suatu hari, datanglah seorang juragan tebu dari desa seberang. Ia berkunjung ke galeri Lingling untuk melihat-lihat keindahan lukisannya. Tak hanya tertarik pada lukisan, ia juga tertarik pada kecantikan Lingling. Ia berusaha menggoda Lingling dan menawarinya untuk dijadikan istri. Lingling menolak lantaran juragan tebu tersebut sudah memiliki istri dan usianya juga terpaut jauh dari Lingling. Sang juragan kecewa atas penolakan tersebut dan melakukan hal yang tak sopan pada pelukis itu, ia menggauli Lingling di sudut galerinya yang sepi.
Dengan segala akal bulusnya, si juragan tebu berhasil membuat warga berpikir bahwa Lingling lah yang telah menggodanya. Warga percaya lantaran juragan tebu itu memang terkenal sebagai pribadi yang baik dan dikagumi di desanya, mustahil ia menggoda Lingling. Tak tahan atas semua gunjingan warga, Lingling berencana meminta maaf sembari membuatkan lukisan wajah si juragan tebu cabul itu dan mengirimkannya ke kediamannya. Dan kejadian serupa –meninggalnya kepala desa beserta istrinya—terulang. Juragan tebu kaya itu tewas mengenaskan dengan mengenakan pakaian yang sama dengan yang dilukis Lingling. Hal ini membuat warga mengungkit isu lama yang tlah lama terpendam. Sampailah isu tersebut ke telinga keluarga si juragan tebu. Anak beserta istrinya tak terima. Mereka mengirim pambunuh bayaran untuk menghabisi nyawa Lingling.
Empat pria bertopeng mendatangi rumah Lingling ketika purnama sedang memancarkan sinarnya. Lewat tengah malam, mereka menyelinap masuk ke rumah Lingling dan menculik gadis itu. Lingling yang dalam keadaan terbius diikatkan pada sebuah pohon cemara beserta seluruh lukisannya. Lukisan itu tidak kering, namun sudah becek dengan cairan beraroma minyak tanah. Beberapa saat kemudian api sudah berkobar dan sebelum fajar tiba, Lingling, pohon cemara, beserta seluruh lukisannya sudah habis terlalap api. Yang tersisa hanyalah sebuah kanvas putih tanpa noda. Hanya kanvas itulah yang mewakili jasad Lingling. Sebagai penghormatan terakhir, warga memakamkan kavas tersebut beserta abu sisa-sisa kebakaran semalam di pemakaman umum desa.
***
Malam kian larut dan aku tak kunjung tertidur. Ibu berkata bahwa itu kisah nyata dan berasal dari desa tempat kami tinggal. Melihat aku ketakutan setegah mati, ibu tertawa dan meralat semua ucapannya. Ibu bilang itu hanyalah sebuah dongeng, dan akupun mulai tenang.
Waktu kian berlalu dan kini aku sudah berada di bangku SMA. Suatu ketika, saat sekolahku mengadakan perlombaan busana daur ulang, aku ditugasi untuk mencari koran sebanyak-banyaknya dan menyerahkannya untuk dijadikan busana kertas. Memoriku kembali ke masa lalu ketika koran yang kukumpulkan menarik perhatianku untuk membaca sebuah artikelnya, disitu tertulis “Pelukis muda berbakat tewas terbakar” dan aku membaca bahwa pelukis itu bernama Lingga Ayu Joyodiningrat alias Lingling. Dulu ibu berkata bahwa ceritanya adalah dongeng belaka dan hanya untuk menakutiku agar tidak keluyuran di kala seja menjelma petang. Kebetulan sekali, batinku.
Artikel yang kubaca memberiku inspirasi dalam sebuah perlombaan melukis. Aku melukis foto Lingling yang saat itu dicantumkan di koran, foto semasa hidupnya. Walau hanya menyabet juara tiga, aku tetap bangga pada lukisanku, lukisan wajah mendiang Lingling si pelukis muda berbakat. Tapi entahlah, setelah pengumuman lomba itu hatiku terasa tertekan. Beberapa saat aku merasa takut menatap sebuah kanvas yang telah membawaku menjadi juara. Kuputuskan untuk memberikannya pada pihak sekolah sebagai kenang-kenangan.
***
Karin tak bisa tidur. Hawa panas serasa menyelimuti rumahnya di malam itu. Sudah lewat tengah malam ketika dia melewati jam besar di ruang tengah rumahnya. Mungkin sedikit angin segar dapat membantunya untuk mendapatkan rasa kantuknya kembali. Dia berjalan menuju pintu depan, agak ragu, namun tetap dilakukan. Baru saja menyentuh gagang pintu rumah, semilir angin dari fentilasi udara sukses menegakkan bulu kuduknya yang bersembunyi di balik rambut ikalnya. Dibukanya pintu perlahan.
“Selamat malam”, sapa seorang gadis muda di balik pintu.
Siapa gadis yang berkunjung ke rumahku tengah malam begini? Pikirnya. Wajah gadis itu tampak asing baginya. Ditambah pakaiannya yang agak jadul membuatnya yakin bahwa ia benar-benar tak mengenalnya. Karin hanya tersenyum tanpa membalas salamnya. Dipandanginya gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kini pandangannya terpaut pada kotak persegi pipih yang ditenteng si gadis. Kanvas? Pikirnya. Dilihatnya lukisan yang tergambar pada kanvas itu, Karin mengenal lukisan itu. Jantungnya bergegup kencang. Ia kembali mendapatkan ingatannya, ia kenal gadis itu! Belum sempat Karin membuka mulutnya, pandangannya seolah berkabut dan perlahan kabur. Ia tak ingat apa-apa lagi.

Malang, 21 April 2013
**Cerpen ini pernah dimuat di majalah Tabir edisi 58 bulan Agustus 2013
 

No comments:

Post a Comment