Lukisan Lingga Ayu Joyodiningrat
Oleh: Enya Dibna
Karin tak bisa tidur. Ia selalu memaksa ibunya untuk
menceritakan dongeng-dongeng pengantar tidur sampai ia terlelap. Dari kisah
Putri Salju, Ariel si Putri Duyung, hingga kisah Malin Kundang selalu
diceritakan berulang kali hingga ia bosan. Ibunya kehabisan ide dan Karin tak
kunjung tidur.
“Aku minta cerita yang lain,
Bu. Aku sudah hafal sama dongeng yang ibu ceritakan barusan....”, rengek Karin.
“Baiklah, Ibu akan cerita
yang agak seram. Tapi Karin janji akan langsung tidur setelah ceritanya tamat.
Oke?”, jawab sang ibu sambil mengacungkan jari kelingkingnya, Karin mengangguk
sambil menyahut jari kelingking ibu dengan kelingkingnya.
“Okey, kisah ini berawal
dari suatu malam. Malam purnama, sekali dalam sebulan. Di mana rembulan bulat
sedang memancarkan cahaya kuning pucatnya, disitulah kau akan melihat sosok
siluet seorang gadis berambut panjang dengan sebuah kotak pipih bertegger di
lekukan lengannya. Kau akan menjumpai siluetnya sedang berdiri anggun di ujung
pohon cemara. Diiringi kicauan burung gagak dan deru jangkrik yang mewarnai
keheningan malam purnama”
***
Dahulu kala, ada seorang
pelukis muda berbakat bernama Lingling. Semua penduduk desanya hingga desa
seberangpun mengenal kemahirannya dalam melukis. Suatu hari, datanglah Bapak
Kepala Desa ke rumah Lingling, beliau tertarik dengan salah satu lukisan
kesayangan Lingling dan menawarnya dengan harga tinggi. Saat itu Lingling
sedang tak enak hati, tanpa sengaja ia menolak tawaran Pak Kades dengan
perkataan yang sedikit tidak sopan. Pak Kades tersinggung bercampur malu karena
Lingling melontarkan kata-kata tersebut di hadapan warganya.
Lingling menyesal atas
perlakuannya yang tidak sopan terhadap Pak Kades. Sebagai tanda permintaan
maaf, Lingling melukis Pak Kades beserta istrinya dengan tampilan setengah
badan. Tampak keduanya mengenakan batik sarimbit bermotif mega mendung dengan paduan warna coklat dan merah delima. Kemudian Lingling
menyerahkannya kepada Pak Kades, untunglah Pak Kades menerima lukisan beserta
permintaan maafnya tanpa berbelit-belit.
Beberapa hari berikutnya, Pak
Kades beserta istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Wajahnya remuk
hampir tak dapat dikenali, namun badannya masih utuh. Anehnya, mereka berdua –Pak
Kades dan istrinya- meninggal dengan mengenakan pakaian yang sama dengan yang
dilukis Lingling.
“Kebetulan sekali pakaiannya
sama dengan yang dilukis si Lingling”
“Jangan-jangan si Lingling
bisa meramal”
“Mana mungkin, pasti ada
sihir di lukisa itu!”
“Mana ada yang namanya
sihir, ngaco kamu”
Gosip demi gosip mulai
tersebar, namun tak kunjung menuai fakta. Perlahan segala isu pun menghilang
seiring jalannya waktu. Lingling kembali menjadi pelukis ulung dan melupakan
segala yang terjadi.
Suatu hari, datanglah
seorang juragan tebu dari desa seberang. Ia berkunjung ke galeri Lingling untuk
melihat-lihat keindahan lukisannya. Tak hanya tertarik pada
lukisan, ia juga tertarik pada kecantikan Lingling. Ia berusaha menggoda Lingling
dan menawarinya untuk dijadikan istri. Lingling menolak lantaran juragan tebu
tersebut sudah memiliki istri dan usianya juga terpaut jauh dari Lingling. Sang
juragan kecewa atas penolakan
tersebut dan melakukan hal yang tak sopan pada pelukis itu,
ia menggauli Lingling di sudut galerinya yang sepi.
Dengan segala akal bulusnya,
si juragan tebu berhasil membuat warga berpikir bahwa Lingling lah yang telah
menggodanya. Warga percaya lantaran juragan tebu itu memang terkenal sebagai
pribadi yang baik dan dikagumi di desanya, mustahil ia menggoda Lingling. Tak
tahan atas semua gunjingan warga, Lingling berencana meminta maaf sembari membuatkan
lukisan wajah si juragan tebu cabul itu dan mengirimkannya ke kediamannya. Dan
kejadian serupa –meninggalnya kepala desa beserta istrinya—terulang. Juragan
tebu kaya itu tewas mengenaskan dengan mengenakan pakaian yang sama dengan yang
dilukis Lingling. Hal ini membuat warga mengungkit isu lama yang tlah lama
terpendam. Sampailah isu tersebut ke telinga keluarga si juragan tebu. Anak
beserta istrinya tak terima. Mereka mengirim pambunuh bayaran untuk menghabisi
nyawa Lingling.
Empat pria bertopeng mendatangi
rumah Lingling ketika purnama sedang memancarkan sinarnya. Lewat tengah malam,
mereka menyelinap masuk ke rumah Lingling dan menculik gadis itu. Lingling yang
dalam keadaan terbius diikatkan pada sebuah pohon cemara beserta seluruh
lukisannya. Lukisan itu tidak kering, namun sudah becek dengan cairan beraroma
minyak tanah. Beberapa saat kemudian api sudah berkobar dan sebelum fajar tiba,
Lingling, pohon cemara, beserta seluruh lukisannya sudah habis terlalap api.
Yang tersisa hanyalah sebuah kanvas putih tanpa noda. Hanya kanvas itulah yang
mewakili jasad Lingling. Sebagai penghormatan terakhir, warga memakamkan kavas
tersebut beserta abu sisa-sisa kebakaran semalam di pemakaman umum desa.
***
Malam kian larut dan aku tak
kunjung tertidur. Ibu berkata bahwa itu kisah nyata dan berasal dari desa
tempat kami tinggal. Melihat aku ketakutan setegah mati, ibu tertawa dan
meralat semua ucapannya. Ibu bilang itu hanyalah sebuah dongeng, dan akupun
mulai tenang.
Waktu kian berlalu dan kini
aku sudah berada di bangku SMA. Suatu ketika, saat sekolahku mengadakan
perlombaan busana daur ulang, aku ditugasi untuk mencari koran
sebanyak-banyaknya dan menyerahkannya untuk dijadikan busana kertas. Memoriku
kembali ke masa lalu ketika koran yang kukumpulkan menarik perhatianku untuk
membaca sebuah artikelnya, disitu tertulis “Pelukis muda berbakat tewas
terbakar” dan aku membaca bahwa pelukis itu bernama Lingga Ayu Joyodiningrat
alias Lingling. Dulu ibu berkata bahwa ceritanya adalah dongeng belaka dan
hanya untuk menakutiku agar tidak keluyuran di kala seja menjelma petang. Kebetulan sekali, batinku.
Artikel yang kubaca
memberiku inspirasi dalam sebuah perlombaan melukis. Aku melukis foto Lingling
yang saat itu dicantumkan di koran, foto semasa hidupnya. Walau hanya menyabet
juara tiga, aku tetap bangga pada lukisanku, lukisan wajah mendiang Lingling si
pelukis muda berbakat. Tapi entahlah, setelah pengumuman lomba itu hatiku
terasa tertekan. Beberapa saat aku merasa takut menatap sebuah kanvas yang
telah membawaku menjadi juara. Kuputuskan untuk memberikannya pada pihak
sekolah sebagai kenang-kenangan.
***
Karin tak bisa tidur. Hawa
panas serasa menyelimuti rumahnya di malam itu. Sudah lewat tengah malam ketika
dia melewati jam besar di ruang tengah rumahnya. Mungkin sedikit angin segar
dapat membantunya untuk mendapatkan rasa kantuknya kembali. Dia berjalan menuju
pintu depan, agak ragu, namun tetap dilakukan. Baru saja menyentuh gagang pintu
rumah, semilir angin dari fentilasi udara sukses menegakkan bulu kuduknya yang
bersembunyi di balik rambut ikalnya. Dibukanya pintu perlahan.
“Selamat malam”, sapa
seorang gadis muda di balik pintu.
Siapa gadis yang berkunjung ke rumahku tengah malam begini? Pikirnya. Wajah gadis itu tampak asing baginya.
Ditambah pakaiannya yang agak jadul membuatnya yakin bahwa ia benar-benar tak
mengenalnya. Karin hanya tersenyum tanpa membalas salamnya. Dipandanginya gadis
itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kini pandangannya terpaut pada kotak
persegi pipih yang ditenteng si gadis. Kanvas?
Pikirnya. Dilihatnya lukisan yang tergambar pada kanvas itu, Karin mengenal
lukisan itu. Jantungnya bergegup kencang. Ia kembali mendapatkan ingatannya, ia
kenal gadis itu! Belum sempat Karin membuka mulutnya, pandangannya seolah
berkabut dan perlahan kabur. Ia tak ingat apa-apa lagi.
**Cerpen ini pernah dimuat di majalah Tabir edisi 58 bulan Agustus 2013
No comments:
Post a Comment