Sunday, July 7, 2013

Lelaki Pengembara



CERPEN LELAKI PENGEMBARA
Oleh: Enya Dibna 


Aku menamaiku seorang lelaki pengembara. Ya, walau bukan lelaki pengembara seperti yang ada di dongeng dengan kuda hitamnya yang menghentak-hentak bumi ketika berlarian di savana luas, bertopeng, berjubah menjuntai dimana akan berkibar-kibar saat kutunggangi kudaku yang sedang tunggang langgang, ataupun lelaki misterius yang selalu menyelamatkan setiap wanita yang sedang meronta dengan jerit laranya tanpa diakhiri dengan perkenalan.

Meski bukan pria bertopeng dengan kuda hitam liarnya, pengembara tetaplah pengembara. Ya, aku berkelana mencari cinta. Dengan tetesan benih di setiap persimpangannya. Satu tikungan, dua tikungan, dan hingga tikungan kesekian selalu membuahkan hasil. Entahlah, aku bagaikan seorang tukang kebun yang selalu berhasil menyemaikan segala macam tanaman, atau juga seperti peternak burung di mana setiap butir telurnya selalu menetas tanpa adanya korban jiwa. Kau tau kan apa maksudku?
Entah Tuhan murka terhadapku atau apa, di tikunganku yang keseratus sekian, aku terjebak dalam lautan gambut yang dalam. Tak mampu bergerak, tak mampu berdalih. Benih itu telah tersemaikan di rahim seorang putri dukun tersohor di sebuah desa. Wajah bapaknya amat angker, bagaimanapun dia tetaplah mertuaku. Aku tak sanggup meninggalkan anak gadisnya yang sudah 5 minggu bunting karena ulahku. Aku tak sanggup meninggalkannya seperti aku meninggalkan para induk semangku terdahulu. Berniat pun tidak, apalagi lari. Tampaknya mertuaku selalu paham apa yang kuukir di dasar hatiku. Terpaksa aku menikahi putri buntingnya tak lama setelah ia didiagnosa mengantongi seorang janin, tak lain dan tak bukan ialah hasil pergulatanku dengannya di suatu malam yang basah nan berlendir.
Kini, aku tak lagi seorang pria bertopeng yang suka menanam dan pergi meninggalkan ranah jajahannya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Lambat laun istriku kian kusut dan timbul gelambir-gelambir lemak di bagian perut, paha, lengan, dan lehernya. Astaga, seumur pengembaraanku yang dulu kuhabiskan dengan dara-dara keset nan elok kini harus berlabuh di gubuk tua dengan manusia-manusia yang tak mampu menyegarkan mata.
Harus Kau ketahui, di mana hidup telah diibaratkan sebagai roda yang selalu berputar. Ketika ia pernah berada di atas, tentunya ia juga akan beralih ke bawah, dan suatu saat akan naik lagi. Ya, di malam yang anyir, kujumpai mertuaku sedang komat kamit dengan seseorang yang tak kasat mata. Sepertinya yang diajak bicara sedang membicarakan perihal pantangan yang dapat mematahkan kekuatannya, mertuaku yang bermaksud memberi penegasan bahwa ia paham pun mengulangi perkataan dedemit piaraannya itu. Sayangnya, segala rentetan mantra beserta pantangan tersebut terdengar olehku. Aku yang mulai muak dengan hidup kelamku di gubuk renta ini telah merancang sebuah aksi untuk bisa lari dengan damai.
Tak selang berapa hari, di saat mertuaku sedang bertapa entah dimana, kupungut jerami berbentuk boneka teluh di kamar dukun biadab itu. Kuucapkan beberapa mantra yang tak lama terukir di memoriku dan kutancapkan sebuah paku besi dengan beberapa tetes darah kambing jantan di ujungnya yang runcing pada jerami itu. Dan sontak gubuk itu menggigil. Beberapa hiasan dinding di ruang meditasi mertuaku jatuh bagai diterpa gempa. Namun, selang beberapa detik semuanya kembali hening, bahkan lebih hening dan sunyi dari sebelumnya. Dan cengkeraman kuat yang serasa membelit hatiku beberapa tahun belakangan ini terasa lenyap begitu saja. Kuletakkan boneka jerami itu di tempat asalnya, lalu aku pergi meninggalkan gubuk renta brengsek itu.
Di waktu yang sama, di suatu tempat yang singup nan pengap, seorang pria tua mengerang kesakitan sambil memukul-mukul dadanya. Sesekali ia mendekap erat perutnya, seolah perutnya bocor atau apa, sesekali ia mencengkeram erat kepalanya. Dan dilanjutkan dengan cengkeraman bagian-bagian tubuh lainnya. Tak sampai semenit, erangannya kunjung reda. Perlahan, ia terkulai lemas dengan wajah yang membiru bagai Ranu Kumboro yang beku.
-Malang, Hardiknas 2013-
Pernah ditampilkan di mading UKMP Universitas Negeri Malang

No comments:

Post a Comment