CERPEN LELAKI PENGEMBARA
Oleh: Enya Dibna
Oleh: Enya Dibna
Aku menamaiku seorang lelaki pengembara. Ya, walau
bukan lelaki pengembara seperti yang ada di dongeng dengan kuda hitamnya yang
menghentak-hentak bumi ketika berlarian di savana luas, bertopeng, berjubah
menjuntai dimana akan berkibar-kibar saat kutunggangi kudaku yang sedang
tunggang langgang, ataupun lelaki misterius yang selalu menyelamatkan setiap
wanita yang sedang meronta dengan jerit laranya tanpa diakhiri dengan
perkenalan.
Meski bukan pria bertopeng dengan kuda hitam liarnya,
pengembara tetaplah pengembara. Ya, aku berkelana mencari cinta. Dengan tetesan
benih di setiap persimpangannya. Satu tikungan, dua tikungan, dan hingga
tikungan kesekian selalu membuahkan hasil. Entahlah, aku bagaikan seorang
tukang kebun yang selalu berhasil menyemaikan segala macam tanaman, atau juga
seperti peternak burung di mana setiap butir telurnya selalu menetas tanpa
adanya korban jiwa. Kau tau kan apa maksudku?
Entah Tuhan murka terhadapku atau apa, di tikunganku
yang keseratus sekian, aku terjebak dalam lautan gambut yang dalam. Tak mampu
bergerak, tak mampu berdalih. Benih itu telah tersemaikan di rahim seorang
putri dukun tersohor di sebuah desa. Wajah bapaknya amat angker, bagaimanapun
dia tetaplah mertuaku. Aku tak sanggup meninggalkan anak gadisnya yang sudah 5
minggu bunting karena ulahku. Aku tak sanggup meninggalkannya seperti aku
meninggalkan para induk semangku terdahulu. Berniat pun tidak, apalagi lari.
Tampaknya mertuaku selalu paham apa yang kuukir di dasar hatiku. Terpaksa aku
menikahi putri buntingnya tak lama setelah ia didiagnosa mengantongi seorang
janin, tak lain dan tak bukan ialah hasil pergulatanku dengannya di suatu malam
yang basah nan berlendir.
Kini, aku tak lagi seorang pria bertopeng yang suka
menanam dan pergi meninggalkan ranah jajahannya. Tak ada lagi yang bisa
kuperbuat. Lambat laun istriku kian kusut dan timbul gelambir-gelambir lemak di
bagian perut, paha, lengan, dan lehernya. Astaga, seumur pengembaraanku yang
dulu kuhabiskan dengan dara-dara keset nan elok kini harus berlabuh di gubuk
tua dengan manusia-manusia yang tak mampu menyegarkan mata.
Harus Kau ketahui, di mana hidup telah diibaratkan
sebagai roda yang selalu berputar. Ketika ia pernah berada di atas, tentunya ia
juga akan beralih ke bawah, dan suatu saat akan naik lagi. Ya, di malam yang
anyir, kujumpai mertuaku sedang komat kamit dengan seseorang yang tak kasat
mata. Sepertinya yang diajak bicara sedang membicarakan perihal pantangan yang
dapat mematahkan kekuatannya, mertuaku yang bermaksud memberi penegasan bahwa
ia paham pun mengulangi perkataan dedemit piaraannya itu. Sayangnya, segala
rentetan mantra beserta pantangan tersebut terdengar olehku. Aku yang mulai
muak dengan hidup kelamku di gubuk renta ini telah merancang sebuah aksi untuk
bisa lari dengan damai.
Tak selang berapa hari, di saat mertuaku sedang
bertapa entah dimana, kupungut jerami berbentuk boneka teluh di kamar dukun
biadab itu. Kuucapkan beberapa mantra yang tak lama terukir di memoriku dan
kutancapkan sebuah paku besi dengan beberapa tetes darah kambing jantan di
ujungnya yang runcing pada jerami itu. Dan sontak gubuk itu menggigil. Beberapa
hiasan dinding di ruang meditasi mertuaku jatuh bagai diterpa gempa. Namun,
selang beberapa detik semuanya kembali hening, bahkan lebih hening dan sunyi
dari sebelumnya. Dan cengkeraman kuat yang serasa membelit hatiku beberapa
tahun belakangan ini terasa lenyap begitu saja. Kuletakkan boneka jerami itu di
tempat asalnya, lalu aku pergi meninggalkan gubuk renta brengsek itu.
Di waktu yang sama, di suatu tempat yang singup nan
pengap, seorang pria tua mengerang kesakitan sambil memukul-mukul dadanya.
Sesekali ia mendekap erat perutnya, seolah perutnya bocor atau apa, sesekali ia
mencengkeram erat kepalanya. Dan dilanjutkan dengan cengkeraman bagian-bagian tubuh
lainnya. Tak sampai semenit, erangannya kunjung reda. Perlahan, ia terkulai
lemas dengan wajah yang membiru bagai Ranu Kumboro yang beku.
-Malang,
Hardiknas 2013-
Pernah ditampilkan di mading UKMP Universitas Negeri Malang
No comments:
Post a Comment